2. 1 Pengertian Remaja
Remaja adalah remaja berasal dari kata
latin yaitu (adolescere) (kata bendanya, adonlescentia yang berarti remaja)
yang berarti “tumbuh” atau “tumbuh menjadi dewasa”. Bangsa primitif demikian
pula orang – orang zaman purbakala memandang masa puber dan masa remaja tidak
berbeda dengan periode – periode lain dalam rentang kehidupa ; anak dianggap
sudah dewasa apabila sudah mampu mengadakan produksi.
Isltilah adolescence, seperti yang
dipergunakaan untuk saat ini, mempunyai arti yang sangat luas, mencakup kematangan
mental, emisional, sosial, dan fisik.
Yang dikatan remaja pada batasan umur
seorang peserta didik adalah usia 12 – 19 tahun. Dimana freud menyebut bahwa
masa ini adalah masa periode awal perkembangan psikoseksual
Sebagai
pubertas, yaitu tahap genital (genital stage). Freud menjelaskan bahwa tahap
genital ini dialami oleh anak remaja dan dewasa. Dimana, hal ini pun tentu
dialami oleh peserta didik. Selama tahap ini, perkembangan seksual peserta
didik selayaknya manusia umumnya, dimana mereka telah mencapai kematangan,
sehingga tumbuh kemampuan secara sehat untuk mencintai dan bekerja, khususnya
bagi yang telah berhasil berkembang melalui tahap – tahap
Sebelumnya.
sebaliknya, Erikson mencatat bahwa
konflik utama yang dihadapi peserta didik yang memasuki usia remaja adalah
mengembangan individualitas. Untuk membentuk indentitas, mereka harus
menetapkan perana pribadi dalam masyarakat dan mengintegrasikan berbagai
dimensi kepribadiannya menjadi keseluruhan yang masuk akal. Mereka harus
bergulat dengan isu seperti memilih karir, kuliah, agama yang dianut dan
pengamalannya aspirasi politik, dan lain- lain.
2. 2 Emosi Remaja
Emosi adalah sebagai sesuatu
suasana yang kompleks (a complex feeling state) dan getaran jiwa ( a strid up
state ) yang menyertai atau munculnya sebelum dan sesudah terjadinya perilaku.
(Syamsudin, 2005:114). Sedangkan menurut Crow & crow (1958) (dalam Sunarto,
2002:149) emosi adalah “An emotion, is an affective experience that accompanies
generalized inner adjustment and mental physiological stirred up states in the
individual, and that shows it self in his overt behavior.”
Jadi emosi adalah pengalaman afektif
yang disertai penyesuaian dari dalam diri individu tentang keadaan mental dan
fisik dan berwujud suatu tingkah laku yang tampak. Menurut James & Lange ,
bahwa emosi itu timbul karena pengaruh perubahan jasmaniah atau kegiatan
individu. Misalnya menangis itu karena sedih, tertawa itu karena gembira.
Sedangkan menurut Lindsley bahwa emosi disebabkan oleh pekerjaan yang terlampau
keras dari susunan syaraf terutama otak, misalnya apabila individu mengalami
frustasi, susunan syaraf bekerja sangat keras yang menimbulkan sekresi
kelenjar-kelenjar tertentu yang dapat mempertinggi pekerjaan otak, maka hal itu
menimbulkan emosi.
1. Pengaruh Emosi Terhadap Perilaku
dan Perubahan Fisik
Dibawah ini adalah beberapa
contoh tentang pengaruh emosi terhadap perilaku individu di antaranya sebagai
berikut:
a. Memperkuat semangat, apabila orang
merasa senang atau puas atas hasil yang telah dicapai.
b. Melemahkan semangat, apabila timbul
rasa kecewa karena kegagalan dan sebagai puncak dari keadaan ini ialah
timbulnya rasa putus asa (frustasi)
c. Menghambat atau mengganggu
konsentrasi belajar, apabila sedang mengalami ketegangan emosi dan bisa juga
menimbulkan sikap gugup (nervous) dan gagap dalam berbicara.
d. Terganggu penyesuaian social, apabila terjadi
rasa cemburu dan iri hati.
e. Suasana emosional yang diterima dan dialami
individu semasa kecilnya akan mempengarui sikapnya dikemudian hari, baik
terhadap dirinya sendiri maupun terhadap orang lain. (Yusuf, 2004 : 115)
Sedangkan perubahan emosi terhadap
perubahan fisik (jasmani) antara lain a :
1) reaksi elektris pada kulit:
meningkat bila terpesona,
2) peredaran darah: bertambah cepat bila
marah,
3) denyut jantung: bertambah cepat bila
terkejut,
4) pernapasan: bernapas panjang kalau
kecewa,
5) pupil mata: membesar mata bila marah,
6) liur: mengering kalau takut atau tegang,
7) bulu roma: berdiri kalau takut,
8) pencernaan: mencret-mencret kalau
tegang,
9) otot: ketegangan dan ketakutan
menyebabkan otot menegang atau bergetar (tremor),
10) komposisi darah: komposisi darah
akan ikut berubah karena emosional yang menyebabkan kelenjar-kelenjar lebih
aktif. (Sunarto, 2002:150)
2. Karakteristik Perkembangan Emosi
Secara tradisional masa remaja
dianggap sebagai periode “badai dan tekanan”, suatu masa dimana ketegangan
emosi meninggi sebagai akibat dari perubahan fisik dan kelenjar. Meningginya
emosi terutama karena anak laki-laki dan perempuan berada dibawah tekanan
sosial dan menghadapi kondisi baru, sedangkan selama masa kanak-kanak ia kurang
mempersiapkan diri untuk menghadapi keadaan-keadaan itu. Tidak semua remaja
mengalami masa badai dan tekanan. Namun benar juga bila sebagian besar remaja
mengalami ketidak stabilan dari waktu ke waktu sebagai konsekuensi dari usaha
penyesuaian diri pada pola prilaku baru dan harapan sosial yang baru. (Hurlock,
2002 :213). Pola emosi remaja adalah sama dengan pola emosi kanak-kanak. Jenis
emosi yang secara normal dialami adalah cinta/kasih sayang, gembira, amarah,
takut dan cemas, cemburu, sedih, dan lain-lain. Perbedaan yang terlihat
terletak pada macam dan derajat rangsangan yang mengakibatkan emosinya, dan
khususnya pola pengendalian yang dilakukan individu terhadap ungkapan emosi
remaja.
a. Cinta/kasih sayang
Faktor penting dalam kehidupan
remaja adalah kapasitasnya untuk mencintai orang lain dan kebutuhannya untuk
mendapatkan cinta dari orang lain. Kemampuan untuk menerima cinta sama
pentingnya dengan kemampuan untuk memberinya.
Walaupun remaja bergerak ke dunia
pergaulan yang lebih luas, dalam dirinya masih terdapat sifat
kekanak-kanakanya. Remaja membutuhkan kasih sayang di rumah yang sama banyaknya
dengan apa yang mereka alami pada tahun-tahun sebelumnya. Karena alasan inilah
sikap menentang mereka, menyalahkan mereka secara langsung, mengolok-olok
mereka pada waktu pertama kali karena mencukur kumisnya, adanya perhatian
terhadap lawan jenisnya, merupakan tindakan yang kurang bijaksana.
Tidak ada remaja yang dapat hidup
bahagia dan sehat tanpa mendapatkan cinta dari orang lain. Kebutuhan untuk
memberi dan menerima cinta menjadi sangat penting, walaupun kebutuhan-kebutuhan
akan perasaan itu disembunyikan secara rapi. Para remaja yang berontak secara
terang-terangan, nakal, dan mempunyai sikap permusuhan besar kemungkinan
disebabkan oleh kurangnya rasa cinta dan dicintai yang tidak disadari.
(Sunarto, 2002:152). Kebutuhan akan kasih sayang dapat diekspresikan jika
seseorang mencari pengakuan dan kasih sayang dari orang lain, baik orang tua,
teman dan orang dewasa lainnya. Kasih sayang akan sulit untuk dipuaskan pada
suasana yang mobilitas tinggi. Kebutuhan akan kasih sayang dapat dipuaskan
melalui hubungan yang akrab dengan yang lain. Kasih sayang merupakan keadaan
yang dimengerti secara mendalam dan diterima dengan sepenuh hati, kegagalan
dalam mencapai kepuasan kebutuhan kasih sayang merupakan penyebab utama dari
gangguan emosional (Yusuf , 2005:2006).
b. Gembira dan bahagia
Perasaan gembira dari remaja
belum banyak diteliti. Perasaan gembira sedikit mendapat perhatian dari petugas
peneliti dari pada perasaan marah dan takut atau tingkah problema lain yang
memantulkan kesedihan. Rasa gembira akan dialami apabila segala sesuatunya
berlangsung dengan baik dan para remaja akan mengalami kegembiraan jika ia
diterima sebagai seorang sahabat atau bila ia jatuh cinta dan cintanya itu
mandapat sambutan oleh yang dicintai.
Perasaan bahagia ini dihayati
secara berbeda-beda oleh setiap individu. Bahagia muncul karena remaja mampu
menyesuaikan diri dengan baik pada suatu situasi, sukses dan memperoleh
keberhasilan yang lebih baik dari orang lain atau berasal dari terlepasnya
energi emosional dari situasi yang menimbulkan kegelisahan dirinya.
c. Kemarahan dan Permusuhan
Sejak masa kanak-kanak, rasa
marah telah dikaitkan dengan usaha remaja untuk mencapai dan memiliki kebebasan
sebagai soerang pribadi yang mandiri. Rasa marah merupakan gejala yang penting
diantara emosi-emosi yang memainkan peranan yang menonjolkan dalam perkembangan
kepribadian. Dalam upaya memahami
remaja, ada empat faktor yang sangat penting sehubungan dengan rasa marah.
1. Adanya kenyataan bahwa perasaan
marah berhubungan dengan usaha manusia untuk memiliki dirinya dan menjadi
dirinya sendiri. Selama masa remaja, fungsi marah terutama untuk melindungi
haknya untuk menjadi independent, dan menjamin hubungan antara dirinya dan pihak
lain yang berkuasa.
2. Pertimbangan penting lainnya ialah ketika
individu mencapai masa remaja, dia tidak hanya merupakan subjek kemarahan yang
berkembang dan kemudian menjadi surut, tetapi juga mempunyai sikap-sikap di
mana ada sisa kemarahan dalam bentuk permusuhan yang meliputi kemarahan masa
lalu. Sikap permusuhan berbentuk dendam, kesedihan, prasangka, atau
kecendrungan untuk merasa tersiksa. Sikap permusuhan tanpak dalam cara-cara
yang bersifat pura-pura; remaja bukannya menampakkan kemarahan langsung tetapi
remaja lebih menunjukkan keinginan yang sangat besar.
3. Perasaan marah sengaja disembunyikan
dan seringkali tampak dalam bentuk yang samar-samar. Bahkan seni dari cinta
mungkin dipakai sebagai alat kemarahan.
4. Kemarahan mungkin berbalik pada
dirinya sendiri. Dalam beberapa hal, aspek ini merupakan yang sangat penting
dan juga paling sulit dipahami. (Sunarto, 2002:154)
d.
Ketakutan dan Kecemasan
Menjelang anak mencapai remaja,
dia telah mengalami serangkaian perkembangan panjang yang mempengaruhi pasang
surut berkenaan dengan rasa ketakutannya. Beberapa rasa takut yang terdahulu
telah teratasi, tetapi banyak yang masih tetap ada. Banyak ketakutan-ketakutan
baru muncul karena adanya kecemasan dan rasa berani yang bersamaan dengan
perkembangan remaja itu sendiri.
Remaja seperti halnya anak-anak
dan orang dewasa, seringkali berusaha untuk mengatasi ketakutan yang timbul
dari persoalan kehidupan. Tidak ada seorangpun yang menerjunkan dirinya dalam
kehidupan dapat hidup tanpa rasa takut. Satu-satunya cara untuk menghindarkan diri
dari rasa takut adalah menyerah terhadap rasa takut, seperti terjadi bila
seorang begitu takut sehingga ia tidak berani mencapai apa yang ada sekarang
atau masa depan yang tidak menentu.
Rasa takut yang disebabkan otoriter orang tua akan menyebabkan anak tidak
berkembang daya kreatifnya dan menjadi orang yang penakut, apatis, dan
penggugup. Selanjutnya sikap apatis yang ditimbulkan oleh otoriter orang tua
akan mengakibatkan anak menjadi pendiam, memencilkan diri, tak sanggunp bergaul
dengan orang lain (Willis, 2005:57)
e. Frustasi dan Dukacita
Frustasi merupakan keadaan saat
individu mengalami hambatan-hambatan dalam pemenuhan kebutuhannya, terutama
bila hambatan tersebut muncul dari dirinya sendiri. Konsekuensi frustasi dapat
menimbulkan perasaan rendah diri.
Dukacita merupakan perasaan galau
atau depresi yang tidak terlalu berat, tetapi mengganggu individu. Keadaan ini
terjadi bila kehilangan sesuatu atau seseorang yang sangat berarti buat kita.
Kalau dialami dalam waktu yang panjang dan berlebihan akan menyebabkan
kerusakan fisik dan psikis yang cukup serius hingga
depresi.(http://www.kompas.com/kompas-cetak/htm)
Biehler (1972) dalam (Sunarto,
2002:155) membagi ciri-ciri emosional remaja menjadi dua rentang usia, yaitu
usia 12–15 tahun dan usia 15–18 tahun
Ciri-ciri emosional remaja usia 12-15 tahun :
a) Pada usia ini seorang siswa/anak
cenderung banyak murung dan tidak dapat diterka.
b) Siswa mungkin bertingkah laku kasar
untuk menutupi kekurangan dalam hal rasa percaya diri.
c) Ledakan-ledakan kemarahan mungkin saja
terjadi.
d) Seorang remaja cenderung tidak
toleran terhadap orang lain dan membenarkan pendapatnya sendiri yang disebabkan
kurangnya rasa percaya diri.
e) Remaja terutama siswa-siswa SMP
mulai mengamati orang tua dan guru-guru mereka secara lebih obyektif.
Ciri-ciri emosional remaja usia 15–18 tahun
a) Pemberontakan’ remaja merupakan
pernyataan-pernyataan/ekspresi dari perubahan yang universal dari masa
kanak-kanak ke dewasa.
b) Karena bertambahnya kebebasan
mereka, banyak remaja yang mengalami konflik dengan orang tua mereka.
c) Siswa pada usia ini seringkali
melamun, memikirkan masa depan mereka. Banyak di antara mereka terlalu tinggi
menafsirkan kemampuan mereka sendiri dan merasa berpeluang besar untuk memasuki
pekerjaan dan memegang jabatan tertentu.
3. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi
Perkembangan Emosi
Sejumlah penelitian tentang emosi
anak menunjukkan bahwa perkembangan emosi mereka bergantung kepada faktor
kematangan dan faktor belajar (Hurlock, 2002: 154). Reaksi emosional yang tidak
muncul pada awal kehidupan tidak berarti tidak ada, reaksi tersebut mungkin
akan muncul dikemudian hari, dengan berfungsinya sistem endokrin. Kematangan
dan belajar terjalin erat satu sama lainnya dalam mempengaruhi perkembangan
emosi.
Untuk mencapai kematangan emosi, remaja
harus belajar memperoleh gambaran tentang situasi yang dapat menimbulkan reaksi
emosional. Adapun caranya adalah dengan membicarakan pelbagai masalah
pribadinya dengan orang lain. Keterbukaan, perasaan dan masalah pribadi
dipengaruhi sebagian oleh rasa aman dalam hubungan sosial dan sebagian oleh
tingkat kesukaannya pada “orang sasaran” (Hurlock, 2002:213).
Metode belajar yang menunjang perkembangan emosi antara lain :
a. Belajar dengan coba-coba
b. Belajar dengan cara meniru
c. Belajar dengan cara mempersamakan diri (learning by identification)
d. Belajar melalui pengkondisian
e. Belajar dibawah bimbingan dan pengawasan, terbatas pada aspek reaksi
(Sunarto, 2002:158)
4. Hubungan Antara Emosi Dan Tingkah Laku Serta
Pengaruh Emosi Terhadap Tingkah Laku
Rasa takut dan marah dapat
menyebabkan seorang gemetar. Dalam ketakutan, mulut menjadi kering, cepatnya
jantung berdetak, derasnya aliran darah, sistem pencernaan mungkin berubah
selama permunculan emosi. Keadaan emosi yang menyenangkan dan relaks berfungsi
sebagai alat pembantu untuk mencerna, sedangkan perasaan tidak enak menghambat
pencernaan.
Gangguan emosi dapat menjadi
penyebab kesulitan berbicara. Hambatan-hambatan dalam berbicara tertentu telah
ditemukan bahwa tidak disebabkan oleh kelainan dalam organ berbicara.
Ketegangan emosional yang cukup lama mungkin menyebabkan seseorang menjadi
gagap.
Sikap takut, malu-malu merupakan
akibat dari ketegangan emosi dan dapat muncul dengan hadirnya individu
tertentu. Karena reaksi kita yang berbeda-beda terhadap setiap orang yang kita
jumpai, maka jika kita merespon dengan cara yang sangat khusus terhadap
hadirnya individu tertentu akan merangsang timbulnya emosi tertentu. Suasana
emosional yang penuh tekanan di dalam keluarga berdampak negatif terhadap perkembangan
remaja.
Sebaliknya suasana penuh kasih sayang,
ramah, dan bersahabat amat mendukung pertumbuhan remaja menjadi manusia yang
bertanggung jawab terhadap keluarga. Dengan demikian dialog antara orang tua
dengan remaja sering terjadi. Dalam dialog tersebut mereka akan mengungkapkan
keresahan, tekanan batin, cita-cita, keinginan, dan sebagainya. Akhirnya jiwa
remaja akan makin tenang. Jika demikian maka remaja akan mudah diajak untuk
bekerja sama dalam rangka mengajukan dirinya dibidang pendidikan dan karir
(Willis,2005:22)
5. Perbedaan Individual Dalam
Perkembangan Emosi
Dengan meningkatnya usia anak,
semua emosi diekspresikan secara lebih lunak karena mereka telah mempelajari
reaksi orang lain terhadap luapan emosi yang berlebihan, sekalipun emosi itu
berupa kegembiraan atau emosi yang menyenangkan lainnya. Selain itu karena
anak-anak mengekang sebagian ekspresi emosi mereka, emosi tersebut cenderung
bertahan lebih lama daripada jika emosi itu diekspresikan secara lebih terbuka.
Oleh sebab itu, ekspresi emosional mereka
menjadi berbeda-beda.Perbedaan itu sebagian disebabkan oleh keadaan fisik anak
pada saat itu dan taraf kemampuan intelektualnya, dan sebagian lagi disebabkan
oleh kondisi lingkungan. Anak yang sehat cenderung kurang emosional dibandingkan
dengan anak yang kurang sehat.
Ditinjau kedudukannya sebagai anggota
suatu kelompok, anak-anak yang pandai bereaksi lebih emosional terhadap
berbagai macam rangsangan dibandingkn dengan anak-anak yang kurang pandai.
Tetapi sebaliknya, mereka juga cenderung lebih mampu mengendalikan ekspresi
emosi. Ditinjau kedudukannya sebagai anggota suatu kelompok keluarga, anak
laki-laki lebih sering dan lebih kuat mengekspresikan emosi yang sesuai dengan
jenis kelamin mereka. Misalnya marah bagi laki-laki, dibandingkan dengan emosi
takut, cemas, dan kasih sayang yang dianggap lebih sesuai bagi perempuan.
Rasa cemburu dan marah lebih umum
terdapat di kalangan keluarga besar, sedangkan rasa iri lebih umum umum
terdapat di kalangan keluarga kecil. Rasa cemburu dan ledakan marah juga lebih
umum dan lebih kuat di kalangan anak pertama dibandingkan dengan anak yang
lahir kemudian dalam keluarga yang sama.
6. Upaya Pengembangan dan
Pengelolaan Emosi serta Implikasinya dalam Penyelenggaraan Pendidikan
Rasa
marah, kesal, sedih atau gembira adalah hal yang wajar yang tentunya sering
dialami remaja meskipun tidak setiap saat. Pengungkapan emosi itu ada juga
aturannya. Supaya bisa mengekspresikan emosi secara tepat, remaja perlu
pengendalian emosi. Akan tetapi, pengendalian emosi ini bukan merupakan upaya
untuk menekan atau menghilangkan emosi melainkan:
a.
Belajar
menghadapi situasi dengan sikap rasional
b.
Belajar
mengenali emosi dan menghindari dari penafsiran yang berlebihan terhadap
situasi yang dapat menimbulkan respon emosional. Untuk dapat menanfsirkan yang
obyektif, coba tanya pendapat beberapa orang tentang situasi tersebut.
c.
Bagaimana
memberikan respon terhadap situasi tersebut dengan pikiran maupun emosi yang
tidak berlebihan atau proporsional, sesuai dengan situasinya, serta dengan cara
yang dapat diterima oleh lingkungan social.
d.
Belajar mengenal, menerima, dan mngekspresikan
emosi positif (senang, sayang, atau bahagia dan negative (khawatir, sedih, atau
marah)
Kegagalan pengendalian emosi biasanya
terjadi karena remaja kurang mau bersusah payah menilai sesuatu dengan kepala
dingin. Bawaannya main perasaan. Kegagalan mengekspresikan emosi juga karena
kurang mengenal perasaan dan emosi sendiri sehingga jadi “salah kaprah” dalam
mengekspresikannya.
Karena itu, keterampilan mengelola
emosi sangatlah perlu agar dalam proses kehidupan remaja bisa lebih sehat
secara emosional. Keterampilan mengelola emosi misalnya sebagai berikut:
a. Mampu mengenali perasaan yang muncul
b. Mampu mengemukakan perasaan dan dapat menilai kadar perasaan
c. Mampu mengelola perasaan
d. Mampu mengendalikan diri sendiri
e. Mampu mengurangi stress.
2. 3 Perkembangan sosial remaja
A. Pengertian Perkembangan Hubungan
Sosial
Manusia tumbuh dan berkembang
pada masa bayi ke masa dewasa melalui beberapa langkah dan jenjang . Kehidupan
anak dalam menelusuri perkembangan itu pada dasarnya merupakan kemampuan mereka
berinteraksi dengan lingkungan .Interaksi sosial merupakan proses sosialisasi
yang mendudukan anak sebagai insan yang secara aktif melakukan proses
sosialisasi. Bersosialisasi pada dasarnya merupakan proses penyesuaian diri
terhadap lingkungan kehidupan sosial .
Hubungan sosial merupakan
hubungan antarmanusia yang saling membutuhkan. Hubungan sosial dimulai dari
tingkat yang sederhana yang didasari oleh kebutuhan yang sederhana. Semakin
dewasa, kebutuhan manusia menjadi kompleks dan dengan demikian, tingkat
hubungan sosial juga berkembang menjadi amat kompleks. Pada jenjang
perkembangan remaja, seorang remaja bukan saja memerlukan orang lain demi
memenuhi kebutuhan pribadinya, tetapi mengandung maksud untuk disimpulkan bahwa
pengertian perkembangan sosial adalah berkembangnya tingkat hubungan antar
manusia sehubungan dengan meningkatnya kebutuhan hidup manusia.
B. Karakteristik Perkembangan Sosial Remaja
Remaja pada tingkat perkembangan
anak yang telah mencapai jenjang menjelang dewasa. Pada jenjang ini, kebutuhan
remaja telah cukup kompleks, cakrawala interaksi sosial dan pergaulan remaja
telah cukup luas. Dalam penyesuaian diri terhadap lingkungannya, remaja telah
mulai memperlihatkan dan mengenal berbagai norma pergaulan, yang berbeda dengan
norma yang berlaku sebelumnya di dalam keluarganya. Remaja menghadapi berbagai
lingkungan, bukan saja bergaul dengan berbagai kelompok umur.
Dengan demikian, remaja mulai
memahami norma pergaulan dengan kelompok remaja, kelompok anak-anak, kelompok
dewasa, dan kelompok orang tua. Pergaulan dengan sesama remaja lawan jenis
dirasakan yang paling penting tetapi cukup sulit, karena di samping harus
memperhatikan norma pergaulan sesama remaja, juga terselip pemikiran adanya
kebutuhan masa depan untuk memilih teman hidup.
Ø Pada masa remaja , anak mulai
memperhatikan dan mengenal berbagai norma pergaulan . Pergaulan sesama teman
lawan jenis dirasakan sangat penting , tetapi cukup sulit , karena di samping
harus memperhatikan norma pergaulan sesame remaja juga terselip pemikiran
adanya kebutuhan masa depan untuk memilih teman hidup
Ø Kehidupan sosial remaja ditandai
dengan menonjolnya fungsi intelektual dan emosional . Remaja sering mengalami
sikap hubungan sosial yang tertuutup sehubungan dengan masalah yang dialaminya
.
Ø Menurut “ Erick Erison ‘ Bahwa masa
remaja terjadi masa krisis , masa pencarian jati diri . Dia berpendapat bahwa
penemuan jati diri seseorang didorong oleh sosiokultural . Sedangkan menurut
Freud , Kehidupan sosial remaja didorong oleh dan berorientasi pada kepentingan
seksual .
Ø Pergaulan remaja banyak diwujudkan
dalam bentuk kelompok – kelompok , baik kelompok besar maupun klelompok kecil .
C.
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi
Perkembangan Sosial
Perkembangan sosial manusia
dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu: keluarga, kematangan anak, status
ekonomi keluarga, tingkat pendidikan, dan kemampuan mental terutama emosi dan
inteligensi.
a. Keluarga
Keluarga merupakan lingkungan pertama yang memberikan pengaruh terhadap
berbagai aspek perkembangan anak, termasuk perkembangan sosialnya. Kondisi dan
tata cara kehidupan keluarga merupakan lingkungan yang kondusif bagi
sosialisasi anak. Di dalam keluarga berlaku norma-norma kehidupan keluarga, dan
dengan demikian pada dasarnya keluarga merekayasa perilaku kehidupan budaya
anak.
Proses pendidikan yang bertujuan mengembangkan kepribadian anak lebih banyak
ditentukan oleh keluarga. Pola pergaulan dan bagaimana norma dalam menempatkan
diri terhadap lingkungan yang lebih luas ditetapkan dan diarahkan oleh
keluarga.
b. Kematangan anak
Bersosialisasi memerlukan kematangan fisik dan psikis. Untuk mampu
mempertimbangan dalam proses sosial, memberi dan menerima pendapat orang lain,
memerlukan kematangan intelektual dan emosional. Di samping itu, kemampuan
berbahasa ikut pula menentukan.
Dengan demikian, untuk mampu bersosialisasi dengan baik diperlukan kematangan
fisik sehingga setiap orang fisiknya telah mampu menjalankan fungsinya dengan
baik.
c. Status Sosial Ekonomi
Kehidupan sosial banyak dipengaruhi oleh kondisi atau status kehidupan sosial
keluarga dalam lingkungan masyarakat. Masyarakat akan memandang anak, bukan
sebagai anak yang independen, akan tetapi akan dipandang dalam konteksnya yang
utuh dalam keluarga anak itu. “ia anak siapa”. Secara tidak langsung dalam
pergaulan sosial anak, masyarakat dan kelompoknya dan memperhitungkan norma
yang berlaku di dalam keluarganya.Dari pihak anak itu sendiri, perilakunya akan
banyak memperhatikan kondisi normatif yang telah ditanamkan oleh keluarganya.
Sehubungan dengan itu, dalam kehidupan sosial anak akan senantiasa “menjaga”
status sosial dan ekonomi keluarganya. Dalam hal tertentu, maksud “menjaga
status sosial keluarganya” itu mengakibatkan menempatkan dirinya dalam
pergaulan sosial yang tidak tepat. Hal ini dapat berakibat lebih jauh, yaitu
anak menjadi “terisolasi” dari kelompoknya. Akibat lain mereka akan membentuk
kelompok elit dengan normanya sendiri.
d. Pedidikan
Pendidikan merupakan proses sosialisasi anak yang terarah. Hakikat pendidikan
sebagai proses pengoperasian ilmu yang normatif, akan memberikan warna
kehidupan sosial anak di dalam masyarakat dan kehidupan mereka di masa yang
akan datang. Pendidikan dalam arti luas harus diartikan bahwa perkembangan anak
dipengaruhi oleh kehidupan keluarga, masyarakat, dan kelembagaan. Penanaman
norma perilaku yang benar secara sengaja diberikan kepada peserta didik yang
belajar di kelembagaan pendidikan(sekolah). Kepada peserta didik bukan saja
dikenalkan kepada norma-norma lingkungan dekat, tetapi dikenalkan kepada norma
kehidupan bangsa(nasional) dan norma kehidupan antarbangsa. Etik pergaulan
membentuk perilaku kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
e. Kapasitas Mental, Emosi, dan Integensi
Kemampuan berpikir banyak mempengaruhi banyak hal, seperti kemampuan belajar,
memecahkan masalah, dan berbahasa. Anak yang berkemampuan intelektual tinggi
akan berkemampuan berbahasa secara baik. Oleh karena itu kemampuan intelektual
tinggi, kemampuan berbahasa baik, dan pengendalian emosional secara seimbang
sangat menentukan keberhasilan dalam perkembangan sosial anak. Sikap saling
pengertian dan kemampuan memahami orang lain merupakan modal utama dalam
kehidupan sosial dan hal ini akan dengan mudah dicapai oleh remaja yang
berkemampuan intelektual tinggi.
D.
Pengaruh Perkembangan Sosial terhadap Tingkah Laku
Pikiran remaja sering dipengaruhi
oleh hide-ide dari teori – teori yang menyebabkan siakp kritis terhadap situasi
dan orang lain .
Pengaruh egosentris sering
terlihat pada pemikiran remaja, yaitu :
a) Cita-cita dan idealisme yang baik ,
terlalu menitik beratkan pikiran sendiri tanpa memikirkan akibat jauh dan
kesulitan-kesuliatn praktis.
b) Kemampuan berpikir dengan pendapat sendiri
belum disertai pendapat orang lain
Pencerminan sifat egois dapat menyebabkan dalam menghadapi pendapat oaring lain
, maka sifat ego semakin kecil sehingga terjadi perubahan tingkah laku yang
semakin baik dan matang .
E.
Perbedaan Individual dalam Perkembangan
Sosial
Bergaul dengan sesama manusia
(sosialisasi) dilakukan oleh setiap orang, baik secara individual maupun
berkelompok. Dilihat dari berbagai aspek, terdapat perbedaan individual
manusia, yang hal itu tampak juga dalam perkembangan sosialnya.
Sesuai dengan Teori komprehensif yang dikemukakan oleh
Erickson yang menyatakan bahwa manusia hidup dalam kesatuan budaya yang utuh,
alam dan kehidupan masyarakat menyediakan segala Hal yang dibutuhkan manusia.
Namun sesuai dengan minat, kemampuan, dan latar belakang kehidupan budayanya
maka berkembang kelompok-kelompok sosial yang beranekaragam. Remaja yang telah
mulai mengembangkan kehidupan bermasyarakat, maka telah mempelajari pola-pola
yang sesuai dengan kepribadiannya.
F. Upaya Pengembangan Hubungan Sosial
Remaja dan Implikasinya dalam Penyelenggaraan Pendidikan
a) Penciptaan kelompok sosial remaja
perlu dikembangkan untuk memberikan rangsang kepada mereka kearah perilaku yang
bermanfaat.
b) Perlu sering diadakan kegiatan kerja
bakti , bakti karya dan kelompok-kelompok belajar untuk dapat mempelajari
remaja bersosialisasi sesamanya dan masyarakat.
2.4
Perkembangan moral remaja
Istilah
moral berasal dari kata Latin "mos" (Moris), yang berarti adat
istiadat, kebiasaan, peraturan/niali-nilai atau tata cara kehidupan. Sedangkan
moralitas merupakan kemauan untuk menerima dan melakukan peraturan, nilai-nilai
atau prinsip-prinsip moral. Nilai-nilai moral itu, seperti:
1. Seruan untuk berbuat baik kepada
orang lain, memelihara ketertiban dan keamanan, memelihara kebersihan dan memelihara
hak orang lain, dan
2. Larangan mencuri, berzina, membunuh,
meminum-minumanan keras dan berjudi.
Seseorang dapat dikatakan bermoral, apabila tingkah laku orang tersebut sesuai
dengan nilai-nilai moral yang dijunjung tinggi oleh kelompok sosialnya.
Sehingga tugas penting yang harus
dikuasai remaja adalah mempelajari apa yang diharapkan oleh kelompok
daripadanya dan kemudian mau membentuk perilakunya agar sesuai dengan harapan
sosial tanpa terus dibimbing, diawasi, didorong, dan diancam hukuman seperti
yang dialami waktu anak-anak.
Remaja diharapkan mengganti
konsep-konsep moral yang berlaku umum dan merumuskannya ke dalam kode moral
yang akan berfungsi sebagai pedoman bagi perilakunya.
Tidak kalah pentingnya, sekarang remaja harus mengendalikan perilakunya
sendiri, yang sebelumnya menjadi tanggung jawab orang tua dan guru. Mitchell
telah meringkaskan lima perubahan dasar dalam moral yang harus dilakukan oleh
remaja yaitu:
1) Pandangan moral individu semakin
lama semakin menjadi lebih abstrak dan kurang konkret.
2) Keyakinan moral lebih berpusat pada
apa yang benar dan kurang pada apa yang salah. Keadilan muncul sebagai kekuatan
moral yang dominant.
3) Penilaian moral menjadi semakin kognitif. Ia
mendorong remaja lebih berani menganalisis kode social dan kode pribadi dari
pada masa anak-anak dan berani mengambil keputusan terhadap berbagai masalah
moral yang dihadapinya.
4) Penilaian moral menjadi kurang egosentris.
5) Penilaian moral secara psikologis
menjadi lebih mahal dalam arti bahwa penilaian moral merupakan bahan emosi dan
menimbulkan ketegangan psikologis.
Pada masa remaja, laki-laki dan
perempuan telah mencapai apa yang oleh Piaget disebut tahap pelaksanaan formal
dalam kemampuan kognitif. Sekarang remaja mampu mempertimbangkan semua
kemungkinan untuk menyelesaikan suatu masalah dan mempertanggungjawabkannya
berdasarkan suatu hipotesis atau proporsi. Jadi ia dapat memandang masalahnya
dari berbagai sisi dan menyelesaikannya dengan mengambil banyak faktor sebagai
dasar pertimbangan.
Menurut Kohlberg, tahap
perkembangan moral ketiga, moral moralitas pascakonvensional harus dicapai
selama masa remaja.tahap ini merupakan tahap menerima sendiri sejumlah prinsip
dan terdiri dari dua tahap.
Dalam tahap pertama individu yakin
bahwa harus ada kelenturan dalam keyakinan moral sehingga dimungkinkan adanya
perbaikan dan perubahan standar apabila hal ini menguntungkan anggota-anggota
kelompok secara keseluruhan.
Dalam tahap kedua individu menyesuaikan
dengan standar sosial dan ideal yang di internalisasi lebih untuk menghindari
hukuman terhadap diri sendiri daripada sensor sosial. Dalam tahap ini,
moralitas didasarkan pada rasa hormat kepada orang-orang lain dan bukan pada
keinginan yang bersifat pribadi.
Ada tiga tugas pokok remaja dalam mencapai moralitas remaja dewasa, yaitu:
1) Mengganti konsep moral khusus dengan
konsep moral umum.
2) Merumuskan konsep moral yang baru
dikembangkan ke dalam kode moral sebagai kode prilaku.
3) Melakukan pengendalian terhadap
perilaku sendiri.
Perkembangan moral adalah salah satu
topic tertua yang menarik minat mereka yang ingin tahu mengenai sifat dasar
manusia. Kini kebanyakan orang memiliki pendapat yang kuat mengenai tingkah
laku yang dapat diterima dan yang tidak dapat di terima, tingkah laku etis dan
tidak etis, dan cara-cara yang harus dilakukan untuk mengajarkan tingkah laku
yang dapat diterima dan etis kepada remaja.
Perkembangan
moral (moral development) berhubungan dengan peraturan-peraturan dan
nilai-nilai mengenai apa yang harus dilakukan seseorang dalam interaksinya
dengan orang lain. Anak-anak ketika dilahirkan tidak memiliki moral (imoral).
Tetapi dalam dirinya terdapat potensi yang siap untuk dikembangkan. Karena itu,
melalui pengalamannya berinteraksi dengan orang lain (dengan orang tua, saudara
dan teman sebaya), anak belajar memahami tentang perilaku mana yang baik, yang
boleh dikerjakan dan tingkah laku mana yang buruk, yang tidak boleh dikerjakan.
Teori Psikoanalisis tentang
perkembangan moral menggambarkan perkembangan moral, teori psikoanalisa dengan
pembagian struktur kepribadian manusia menjadi tiga, yaitu id, ego, dan
superego. Id adalah struktur kepribadian yang terdiri atas aspek biologis yang
irasional dan tidak disadari. Ego adalah struktur kepribadian yang terdiri atas
aspek psikologis, yaitu subsistem ego yang rasional dan disadari, namun tidak
memiliki moralitas. Superego adalah struktur kepribadian yang terdiri atas
aspek social yang berisikan system nilai dan moral, yang benar-benar
memperhitungkan "benar" atau "salahnya" sesuatu.
Hal penting lain dari teori
perkembangan moral Kohlberg adalah orientasinya untuk mengungkapkan moral yang
hanya ada dalam pikiran dan yang dibedakan dengan tingkah laku moral dalam arti
perbuatan nyata. Semakin tinggi tahap perkembangan moral sesorang, akan semakin
terlihat moralitas yang lebih mantap dan bertanggung jawabdari perbuatan-perbuatannya.
2. 5 Perkembangan agama remaja.
Latar belakang kehidupan
keagamaan remaja dan ajaran agamanya berkenaan dengan hakekat dan nasib
manusia, memainkan peranan penting dalam menentukan konsepsinya tentang apa dan
siapa dia, dan akan menjadi apa dia. Agama, seperti yang kita temukan dalam
kehidupan sehari-hari, terdiri atas suatu sistem tentang keyakinan-keyakinan,
sikap-sikap danpraktek-praktek yang kita anut, pada umumnya berpusat sekitar
pemujaan.
Dari
sudut pandangan individu yang beragama, agama adalah sesuatu yang menjadi
urusan terakhir baginya. Artinya bagi kebanyakan orang, agama merupakan jawaban
terhadap kehausannya akan kepastian, jaminan, dan keyakinan tempat mereka
melekatkan dirinya dan untuk menopang harapan-harapannya. Dari sudut pandangan
social, seseorang berusaha melalui agamanya untuk memasuki hubungan-hubungan
bermakna dengan orang lain, mencapai komitmen yang ia pegang bersama dengan
orang lain dalam ketaatan yang umum terhadapnya.bagi kebanyakan orang, agama
merupakan dasar terhadap falsafah hidupnya.
Penemuan lain menunjukkan, bahwa sekalipun pada masa remaja banyak
mempertanyakan kepercayaan-kepercayaan keagamaan mereka, namun pada akhirnya
kembali lagi kepada kepercayaan tersebut.
Banyak orang yang pada usia dua puluhan
dan awal tiga puluhan, tatkala mereka sudah menjadi orang tua, kembali
melakukan praktek-praktek yang sebelumnya mereka abaikan (Bossard dan Boll,
1943). Bagi remaja, agama memiliki arti
yang sama pentingnya dengan moral. Bahkan, sebagaiman dijelaskan oleh Adams
& Gullotta (1983), agama memberikan sebuah kerangka moral, sehingga membuat
seseorang mampu membandingkan tingkah lakunya.
Agama dapat menstabilkan tingkah laku
dan bias memberikan penjelasan mengapa dan untuk apa seseorang berada didunia
ini. Agama memberikan perlindungan rasa aman, terutama bagi remaja yang tengah
mencari eksistensi dirinya. Dibandingkan dengan masa awal anak-anak misalnya,
keyakinan agama remaja telah mengalami perkembangan yang cukup berarti. Kalau
pada masa awal anak-anak ketika mereka baru memiliki kemampuan berpikir
simbolik. Tuhan dibayangkan sebagai person yang berada diawan, maka pada masa
remaja mereka mungkin berusaha mencari sebuah konsep yang lebih mendalam
tentang Tuhan dan eksistensi. Perkembangan pemahaman remaja terhadap keyakinan
agama ini sangat dipengaruhi oleh perkembangan kognitifnya.
Oleh
karena itu meskipun pada masa awal anak-anak ia telah diajarkan agama oleh
orang tua mereka, namun karena pada masa remaja mereka mengalami kemajuann
dalam perkembangan kognitif, mereka mungkin mempertanyakan tentang kebenaran
keyakinan agama mereka sendiri. Sehubungan dengan pengaruh perekembangan
kognitif terhadap perkembangan agama selama masa remaja ini. Dalam suatu studi
yang dilakukan Goldman (1962) tentang perkembangan pemahaman agama anak-anak
dan remaja dengan latar belakang teori perkembangan kognitif Piaget, ditemukan
bahwa perkembangan pemahaman agama remaja berada pada tahap 3, yaitu formal
operational religious thought, di mana remaja memperlihatkann pemahaman agama
yang lebih abstrak dan hipotesis.
Peneliti lain juga menemukan perubahan
perkembangan yang sama, pada anak-anak dan remaja. Oser & Gmunder, 1991
(dalam Santrock, 1998) misalnya menemukan bahwa remaja usia sekitar 17 atau 18
tahun makin meningkat ulasannya tentang kebebasan, pemahaman, dan pengharapan
konsep-konsep abstrak ketika membuat pertimbangan tentang agama. Apa yang
dikemukakan tentang perkembangan dalam masa remaja ini hanya merupakan
cirri-ciri pokoknya saja.
James Fowler (1976) mengajukan
pandangan lain dalam perkembangan konsep religius. Indiduating-reflexive faith
adalah tahap yang dikemukakan Fawler, muncul pada masa remaja akhir yang
merupakan masa yang penting dalam perkembangan identitas keagamaan. Untuk
pertama kalinya dalam hidup mereka, individu memiliki tanggung jawab penuh atas
keyakinan religius mereka. Sebelumnya mereka mengandalkan semuanya pada
keyakinan orang tuanya. Salah satu area dari pengaruh agama terhadap
perkembangan remaja adalah kegiatan seksual. Walaupun keanakaragaman dan
perubahan dalam pengajaran menyulitkan kita untuk menentukan karakteristik
doktrin keagamaan, tetapi sebagian besar agama tidak mendukung seks pranikah.
Oleh karena itu, tingkat keterlibatan
remaja dalam organisai keagamaan mungkin lebih penting dari pada sekedar
keanggotaan mereka dalam menentukan sikap dan tingkah laku seks pranikah
mereka. Remaja yang sering menghadiri ibadat keagamaan dapat mendengarkan
pesan-pesan untuk menjauhkan diri dari seks. Remaja masa kini menaruh minat
pada agama dan menganggap bahwa agama berperan penting dalam kehidupan.
Minat pada agama antara lain tampak
dengan dengan membahas masalah agama, mengikuti pelajaran-pelajaran agama di
sekolah dan perguruan tinggi, mengunjungi tempat ibadah dan mengikuti berbagai
upacara agama. Sejalan dengan perkembangan kesadaran moralitas, perkembangan
penghayatan keagamaan, yang erat hubungannya dengan perkembangan intelektual
disamping emosional dan volisional (konatif) mengalami perkembangan.
Para ahli umumnya (Zakiah Daradjat,
Starbuch, William James) sependapat bahwa pada garis besarnya perkembangan
penghayatan keagamaan itu dapat di bagi dalam tiga tahapan yang secara
kulitatif menunjukkan karakteristik yang berbeda. Adapun penghayatan keagamaan
remaja adalah sebagai berikut:
1).
Masa awal remaja (12-18 tahun) dapat dibagi ke dalam dua sub tahapan sebagai
berikut:
a) Sikap negative (meskipun tidak
selalu terang-terangan) disebabkan alam pikirannya yang kritis melihat
kenyataan orang-orang beragama secara hipocrit (pura-pura) yang pengakuan dan
ucapannya tidak selalu selaras dengan perbuatannya.
b) Pandangan dalam hal ke-Tuhanannya
menjadi kacau karena ia banyak membaca atau mendengar berbagai konsep dan
pemikiran atau aliran paham banyak yang tidak cocok atau bertentangan satu sama
lain.
c) Penghayatan rohaniahnya cenderung
skeptic(diliputi kewas-wasan) sehingga banyak yang enggan melakukan berbagai
kegiatan ritual yang selama ini dilakukannya dengan kepatuhan.
2).
Masa remaja akhir yang ditandai antara lain oleh hal-hal berikyut ini:
a) Sikap kembali, pada umumnya, kearah
positif dengan tercapainya kedewasaan intelektual, bahkan agama dapat menjadi
pegangan hidupnya menjelanh dewasa.
b) Pandangan dalam hal ke-Tuhanan
dipahamkannya dalam konteks agama yang dianut dan dipilihnya.
c) Penghayatan rohaniahnya kembali
tenanh setelah melalui proses identifikasi dan merindu puja ia dapat membedakan
antara agama sebagai doktrin atau ajaran dan manusia penganutnya, yang baik
shalih) dari yang tidak. Ia juga memahami bahwa terdapat berbagai aliran paham
dan jenis keagamaan yang penuh toleransi seyogyanya diterima sebagai kenyataan
yang hidup didunia ini.
Menurut Wagner (1970) banyak remaja
menyelidiki agama sebagai suatu sumber dari rangsangan emosial dan intelektual.
Para pemuda ingin mempelajari agama berdasarkan pengertian intelektual dan
tidak ingin menerimanya secara begitu saja. Mereka meragukan agama bukan karena
ingin manjadi agnostik atau atheis, melainkan karena ingin menerima agama
sebagai sesuatu yang bermakna berdasarkan keinginan mereka untuk mandiri dan
bebas menentukan keputusan-keputusan mereka sendiri.
2.
6 Hubungan siswa dengan proses pembelajaran.
Dalam keseharian remaja juga harus
berlatih untuk melakukan dialog dengan diri sendiri dalam menghadapi setiap
masalah, bersikap positif dan optimistis, serta mampu mengembangkan harapan
yang realistis. Remaja juga harus mampu menafsirkan isyarat-isyarat social.
Artinya, mengenali pengaruh sosial terhadap perilaku remaja dan melihat dampak
perilaku remaja, baik terhadap diri sendiri maupun masyarakat dimana remaja
berada. Remaja juga harus dapat memilih langkah-langkah yang tepat dalam setiap
penyelesaian masalah yang remaja hadapi dengan mempertimbangkan resiko yang
akan terjadi (http://www.kompas.com/kompas-cetak/htm).
Meskipun demikian, pendekatan dan
pemecahan dari pendidikan merupakan salah satu jalan yang paling strategis,
karena bagi sebagaian besar remaja bersekolah dengan para pendidikan, khususnya
gurulah yang paling banyak mempunyai kesempatan berkomunikasi dan bergaul.
Dalam kaitannya dengan emosi remaja awal yang cenderung banyak melamun dan
sulit diterka, maka satu-satunya hal yang dapat dilakukan oleh guru adalah
konsisten dalam pengelolaan kelas dan memperlakukan siswa seperti orang dewasa
yang penuh tanggung jawab.
Guru-guru dapat membantu mereka yang
bertingkah laku kasar dengan jalan mencapai keberhasilan dalam pekerjaan sekolah
sehingga mereka menjadi anak yang lebih tenang dan lebih mudah ditangani. Salah
satu cara yang mendasar adalah dengan mendorong mereka untuk bersaing dengan
diri sendiri. Apabila ada ledakan kemarahan sebaiknya kita memperkecil ledakan
emosi tersebut, misalnya dengan jalan tindakan yang bijaksana dan lemah lembut,
mengubah pokok pembicaraan, dan memulai aktivitas baru. Jika kemarahan siswa
tidak juga reda, guru dapat meminta bantuan kepada petugas bimbingan
penyuluhan.
Dalam
diskusi kelas, tekankan pentingnya memperhatikan pandangan orang lain dalam
meningkatkan pandangan sendiri. Kita hendaknya waspada terhadap siswa yang
sangat ambisisus, berpendirian keras, dan kaku yang suka mengintimidasi
kelasnya sehingga tidak ada seseorang yang berani tidak sependapat dengannya.
Pemberian tugas-tugas yang dapat menumbuhkan rasa tanggung jawab, belajar
menimbang, memilih dan mengambil keputusan yang tepat akan sangat menunjang
bagi pembinaan kepribadiannya. Cara yang paling strategis untuk ini adalah
apabila para pendidik terutama para orang tua dan guru dapat menampilkan
pribadi-pribadinya yang dapat merupakan objek identifikasi sebagai pribadi
idola para remaja.
2.7
Seksualitas remaja.
Peserta didik usia remaja secara
total menemukan satu indentitas, berupa perwujudan orientasi seksual (social
orientation), yang tercermin dari hasrat seksual, emosional , romantic dan
atraksi kasih sayang kepada anggota jenis kelamin yang sama atau berbeda atau
keduanya. Seseorang peserta didik yang tertarik pada anggota jenis kelamin lain
disebut heteroseksual. Sebaliknya, seseorang yang tertaeik pada jenis kelamin
yang sama disebut homo seksual. Banyak yang menggunakan istilah gay sebagai
kata ganti homoseksual pada laki-laki dan lesbian untuk perempuan. Ada juga
peserta didik atau seseorang yang tertarik pada anggota dari kedua jenis kelamin adalah yang disebut
dengan bisexsual.
Pada tahun 1940-an dan 1950-an, Alfred Kinsey dan
rekan-rekanya menemukan bahwa orientasi seksual manusia ada disepanjang
kontinum. Sebelum hasil Kinsey dipublikasi, banyak ahli percaya kebiasaan Seksual
warga pada umumnya bersifat baik heteroseksual maupun homoseksual. Kinsey berspekulasi bahwa kategori dari orientasi
seksual tidak begitu berbeda. Pada
survey itu, banyak orang amerika serikat melaporkan bahwa mereka memiliki daya
tarik terhadap anggota jenis kelamin yang sama, meskipun sebagian besar belum
pernah bertindak keluar pada atraksi ini. Singkatnya Kinsey dan rekan
berkesimpulan bahwa dilihat dari ilmu kedokteran perilaku heteroseksual, homo
seksualitas dan biseksual kesemuanya merupakan orientasi seksual yang terpisah
namun berhubungan.Penyebab dari heteroseksual, homoseksual dan biseksual belum
sepenuhnya terungkap oleh para peneliti. Teori orientasi seksual itu memang bisa dikaji dari dimensi biologis,
psikologis, sosial, dan interaksional. Upaya mengidentifikasi penyebab
fisiologis spesifik dari homoseksualitas sudah tidak meyakinkan.
Teori fisiollogis tradisional berpandangan bahwa hal itu
dipicu oleh terl;alu sedikit testoteron pada laki-laki dan terlau banyak
testoteron wanita. Ketidakseimbangan hormone prenatal, kesalahan biologis
kehamilan karena stress ibu, perbedaan dalam struktur otak, serta perbedaan
genetic dan pengaruh. Preudian percaya keluarga yang bermasalah, seorang ibu
yang terlalu sayang dan dominan pada
satu sisi dan ayah yang pasif, dan atau kehilangan satu atau kedua orang tua
pada sisi lain, namun, teori ini tidak
dapat menjelaskan mengapa homoseksualiatas terjadi pada orang yang tidak
berasal dari satu
jenis keluarga.
Baru – baru ini, penelitian telah menemukan bukti bahwa
factor pembelajaran social (social_learning). Dapat memunculkan pemahaman
tertentu mengenai homoseksualitas. Preferensi seksual dapat berkembang ketika
anak melakukan perilaku lintas jender awal ( cross – gender behavior, perilaku
stereotip jenis kelamin yang lain ) atau kapan hasrat seksual remaja muncul
selama periode –jender terutama persahabatan yang sama.
Para
pendukung teori interaksional ( interactional theory) meyakini bahwa
homoseksualitas merupakan orientasi seksual yang berkembang dari interaksi
kompleks atas factor – factor psikologis, social, dan biologis. Jhon money menjelaskan
bahwa tindakan hormon kehaliman pertama pada emberio dan otak janin menciptakan
kecenderungan. Factor social yang mempengaruhi belajar anak, baik memfasilitasi
maupun menghambat kecenderungan.
DAFTAR
PUSTAKA
Ø Atkinson
& Atkinson. 1998. PEngantar PSikologi, edisi kesebelas. Batam :
Interaksara.
Ø Crain, William. 1992. Theories of Development
: Concept and Applications, third edition. New Jersey :Prentice-Hall, Inc.
Ø Hurlock,
Elizabeth. B. 1980. Developmental Psychology A life-Span Approach, fifth
edition. New Delhi :Tata McGraw-Hill Publishing Company Ltd.
Ø Hall,
Lindzey & Campbell. 1998. Theories of Personality, forthh edition. New York
: John Wiley & Sons, Inc.
Ø Cahyadi, Ani, 2006, Psikologi Perkembangan,
Ciputat : Press Group
Ø Desmita, 2007. Psikologi Perkembangan,
Bandung : Rosda Karya
Ø Fatimah Enung, 2006. Psikologi
Perkembangan, Bandung : Pustaka Setia
Ø Hamalik Oemar, 1995. Psikologi
Remaja (dimensi-dimensi perkembangan), Bandung: Maju Mundur
Ø Hartati Netty, 2004. Islam dan
Psikologi, Jakarta: Raja Grafindo Persada
Ø Nurihsan, Juntika, 2007.
Perkembangan Peserta Didik, Bandung : Sekolah Pasca Sarjana.
Ø Panuju, Panut, 1999, Psikologi
Remaja, Yogyakarta : Tiara Wacana Yogya
Ø Santrock, John W., 1996, Adolescence
(Perkembangan Remaja), The University of at Dallas: Times Mirror higher
Education.
Ø Santrock, John W, 1983, Life-Span
Development (Perkembangan Masa Hidup), University of Texas at Dallas: Brown and
Bench-mark
Ø Yusuf, Syamsu, 2007, Psikologi
Perkembangan Anak dan Remaja, Bandung: Rosda
Ø Keluarga. http://www.pages-yourfavorite.com/ppsupi/
abstrakpu2004.html
Ø Chatarina Wahyurini & Yahya
Ma’shum (2006), Iiih … Emosi Banget Deh.
Ø http://www.kompas.com/kompas-cetak/0403/26/muda/933870.htm).
Ø Willis, Sofyan. (2005). Remaja dan
Masalahnya. Bandung : Alfabeta
Ø Danim sudarwan, perkembangan peserta
didik. Bandung: alfabeta
0 komentar:
Posting Komentar