Social Icons

Pages

Kamis, 03 Mei 2012

perkembangan karakteristik remaja


2. 1 Pengertian Remaja
         Remaja adalah remaja berasal dari kata latin yaitu (adolescere) (kata bendanya, adonlescentia yang berarti remaja) yang berarti “tumbuh” atau “tumbuh menjadi dewasa”. Bangsa primitif demikian pula orang – orang zaman purbakala memandang masa puber dan masa remaja tidak berbeda dengan periode – periode lain dalam rentang kehidupa ; anak dianggap sudah dewasa apabila sudah mampu mengadakan produksi.
         Isltilah adolescence, seperti yang dipergunakaan untuk saat ini, mempunyai arti yang sangat luas, mencakup kematangan mental, emisional, sosial, dan fisik.
         Yang dikatan remaja pada batasan umur seorang peserta didik adalah usia 12 – 19 tahun. Dimana freud menyebut bahwa masa ini adalah masa periode awal perkembangan psikoseksual
Sebagai pubertas, yaitu tahap genital (genital stage). Freud menjelaskan bahwa tahap genital ini dialami oleh anak remaja dan dewasa. Dimana, hal ini pun tentu dialami oleh peserta didik. Selama tahap ini, perkembangan seksual peserta didik selayaknya manusia umumnya, dimana mereka telah mencapai kematangan, sehingga tumbuh kemampuan secara sehat untuk mencintai dan bekerja, khususnya bagi yang telah berhasil berkembang melalui tahap – tahap
Sebelumnya.
         sebaliknya, Erikson mencatat bahwa konflik utama yang dihadapi peserta didik yang memasuki usia remaja adalah mengembangan individualitas. Untuk membentuk indentitas, mereka harus menetapkan perana pribadi dalam masyarakat dan mengintegrasikan berbagai dimensi kepribadiannya menjadi keseluruhan yang masuk akal. Mereka harus bergulat dengan isu seperti memilih karir, kuliah, agama yang dianut dan pengamalannya aspirasi politik, dan lain- lain.
2. 2 Emosi Remaja
         Emosi adalah sebagai sesuatu suasana yang kompleks (a complex feeling state) dan getaran jiwa ( a strid up state ) yang menyertai atau munculnya sebelum dan sesudah terjadinya perilaku. (Syamsudin, 2005:114). Sedangkan menurut Crow & crow (1958) (dalam Sunarto, 2002:149) emosi adalah “An emotion, is an affective experience that accompanies generalized inner adjustment and mental physiological stirred up states in the individual, and that shows it self in his overt behavior.”

         Jadi emosi adalah pengalaman afektif yang disertai penyesuaian dari dalam diri individu tentang keadaan mental dan fisik dan berwujud suatu tingkah laku yang tampak. Menurut James & Lange , bahwa emosi itu timbul karena pengaruh perubahan jasmaniah atau kegiatan individu. Misalnya menangis itu karena sedih, tertawa itu karena gembira. Sedangkan menurut Lindsley bahwa emosi disebabkan oleh pekerjaan yang terlampau keras dari susunan syaraf terutama otak, misalnya apabila individu mengalami frustasi, susunan syaraf bekerja sangat keras yang menimbulkan sekresi kelenjar-kelenjar tertentu yang dapat mempertinggi pekerjaan otak, maka hal itu menimbulkan emosi.
1. Pengaruh Emosi Terhadap Perilaku dan Perubahan Fisik 
         Dibawah ini adalah beberapa contoh tentang pengaruh emosi terhadap perilaku individu di antaranya sebagai berikut:

a.       Memperkuat semangat, apabila orang merasa senang atau puas atas hasil yang telah dicapai.
b.      Melemahkan semangat, apabila timbul rasa kecewa karena kegagalan dan sebagai puncak dari keadaan ini ialah timbulnya rasa putus asa (frustasi)
c.       Menghambat atau mengganggu konsentrasi belajar, apabila sedang mengalami ketegangan emosi dan bisa juga menimbulkan sikap gugup (nervous) dan gagap dalam berbicara.
d.       Terganggu penyesuaian social, apabila terjadi rasa cemburu dan iri hati.
e.        Suasana emosional yang diterima dan dialami individu semasa kecilnya akan mempengarui sikapnya dikemudian hari, baik terhadap dirinya sendiri maupun terhadap orang lain. (Yusuf, 2004 : 115)
         Sedangkan perubahan emosi terhadap perubahan fisik (jasmani) antara lain a :
1)      reaksi elektris pada kulit: meningkat bila terpesona,
2)      peredaran darah: bertambah cepat bila marah,
3)      denyut jantung: bertambah cepat bila terkejut,
4)      pernapasan: bernapas panjang kalau kecewa,
5)       pupil mata: membesar mata bila marah,
6)       liur: mengering kalau takut atau tegang,
7)       bulu roma: berdiri kalau takut,
8)      pencernaan: mencret-mencret kalau tegang,
9)      otot: ketegangan dan ketakutan menyebabkan otot menegang atau bergetar (tremor),
10)  komposisi darah: komposisi darah akan ikut berubah karena emosional yang menyebabkan kelenjar-kelenjar lebih aktif. (Sunarto, 2002:150)
2. Karakteristik Perkembangan Emosi
         Secara tradisional masa remaja dianggap sebagai periode “badai dan tekanan”, suatu masa dimana ketegangan emosi meninggi sebagai akibat dari perubahan fisik dan kelenjar. Meningginya emosi terutama karena anak laki-laki dan perempuan berada dibawah tekanan sosial dan menghadapi kondisi baru, sedangkan selama masa kanak-kanak ia kurang mempersiapkan diri untuk menghadapi keadaan-keadaan itu. Tidak semua remaja mengalami masa badai dan tekanan. Namun benar juga bila sebagian besar remaja mengalami ketidak stabilan dari waktu ke waktu sebagai konsekuensi dari usaha penyesuaian diri pada pola prilaku baru dan harapan sosial yang baru. (Hurlock, 2002 :213). Pola emosi remaja adalah sama dengan pola emosi kanak-kanak. Jenis emosi yang secara normal dialami adalah cinta/kasih sayang, gembira, amarah, takut dan cemas, cemburu, sedih, dan lain-lain. Perbedaan yang terlihat terletak pada macam dan derajat rangsangan yang mengakibatkan emosinya, dan khususnya pola pengendalian yang dilakukan individu terhadap ungkapan emosi remaja. 
a. Cinta/kasih sayang
         Faktor penting dalam kehidupan remaja adalah kapasitasnya untuk mencintai orang lain dan kebutuhannya untuk mendapatkan cinta dari orang lain. Kemampuan untuk menerima cinta sama pentingnya dengan kemampuan untuk memberinya. 
         Walaupun remaja bergerak ke dunia pergaulan yang lebih luas, dalam dirinya masih terdapat sifat kekanak-kanakanya. Remaja membutuhkan kasih sayang di rumah yang sama banyaknya dengan apa yang mereka alami pada tahun-tahun sebelumnya. Karena alasan inilah sikap menentang mereka, menyalahkan mereka secara langsung, mengolok-olok mereka pada waktu pertama kali karena mencukur kumisnya, adanya perhatian terhadap lawan jenisnya, merupakan tindakan yang kurang bijaksana.

         Tidak ada remaja yang dapat hidup bahagia dan sehat tanpa mendapatkan cinta dari orang lain. Kebutuhan untuk memberi dan menerima cinta menjadi sangat penting, walaupun kebutuhan-kebutuhan akan perasaan itu disembunyikan secara rapi. Para remaja yang berontak secara terang-terangan, nakal, dan mempunyai sikap permusuhan besar kemungkinan disebabkan oleh kurangnya rasa cinta dan dicintai yang tidak disadari. (Sunarto, 2002:152). Kebutuhan akan kasih sayang dapat diekspresikan jika seseorang mencari pengakuan dan kasih sayang dari orang lain, baik orang tua, teman dan orang dewasa lainnya. Kasih sayang akan sulit untuk dipuaskan pada suasana yang mobilitas tinggi. Kebutuhan akan kasih sayang dapat dipuaskan melalui hubungan yang akrab dengan yang lain. Kasih sayang merupakan keadaan yang dimengerti secara mendalam dan diterima dengan sepenuh hati, kegagalan dalam mencapai kepuasan kebutuhan kasih sayang merupakan penyebab utama dari gangguan emosional (Yusuf , 2005:2006).
b. Gembira dan bahagia 
         Perasaan gembira dari remaja belum banyak diteliti. Perasaan gembira sedikit mendapat perhatian dari petugas peneliti dari pada perasaan marah dan takut atau tingkah problema lain yang memantulkan kesedihan. Rasa gembira akan dialami apabila segala sesuatunya berlangsung dengan baik dan para remaja akan mengalami kegembiraan jika ia diterima sebagai seorang sahabat atau bila ia jatuh cinta dan cintanya itu mandapat sambutan oleh yang dicintai. 
         Perasaan bahagia ini dihayati secara berbeda-beda oleh setiap individu. Bahagia muncul karena remaja mampu menyesuaikan diri dengan baik pada suatu situasi, sukses dan memperoleh keberhasilan yang lebih baik dari orang lain atau berasal dari terlepasnya energi emosional dari situasi yang menimbulkan kegelisahan dirinya. 
c. Kemarahan dan Permusuhan
         Sejak masa kanak-kanak, rasa marah telah dikaitkan dengan usaha remaja untuk mencapai dan memiliki kebebasan sebagai soerang pribadi yang mandiri. Rasa marah merupakan gejala yang penting diantara emosi-emosi yang memainkan peranan yang menonjolkan dalam perkembangan kepribadian.  Dalam upaya memahami remaja, ada empat faktor yang sangat penting sehubungan dengan rasa marah.

1.      Adanya kenyataan bahwa perasaan marah berhubungan dengan usaha manusia untuk memiliki dirinya dan menjadi dirinya sendiri. Selama masa remaja, fungsi marah terutama untuk melindungi haknya untuk menjadi independent, dan menjamin hubungan antara dirinya dan pihak lain yang berkuasa.
2.       Pertimbangan penting lainnya ialah ketika individu mencapai masa remaja, dia tidak hanya merupakan subjek kemarahan yang berkembang dan kemudian menjadi surut, tetapi juga mempunyai sikap-sikap di mana ada sisa kemarahan dalam bentuk permusuhan yang meliputi kemarahan masa lalu. Sikap permusuhan berbentuk dendam, kesedihan, prasangka, atau kecendrungan untuk merasa tersiksa. Sikap permusuhan tanpak dalam cara-cara yang bersifat pura-pura; remaja bukannya menampakkan kemarahan langsung tetapi remaja lebih menunjukkan keinginan yang sangat besar.
3.      Perasaan marah sengaja disembunyikan dan seringkali tampak dalam bentuk yang samar-samar. Bahkan seni dari cinta mungkin dipakai sebagai alat kemarahan.
4.      Kemarahan mungkin berbalik pada dirinya sendiri. Dalam beberapa hal, aspek ini merupakan yang sangat penting dan juga paling sulit dipahami. (Sunarto, 2002:154)
d. Ketakutan dan Kecemasan
         Menjelang anak mencapai remaja, dia telah mengalami serangkaian perkembangan panjang yang mempengaruhi pasang surut berkenaan dengan rasa ketakutannya. Beberapa rasa takut yang terdahulu telah teratasi, tetapi banyak yang masih tetap ada. Banyak ketakutan-ketakutan baru muncul karena adanya kecemasan dan rasa berani yang bersamaan dengan perkembangan remaja itu sendiri.
         Remaja seperti halnya anak-anak dan orang dewasa, seringkali berusaha untuk mengatasi ketakutan yang timbul dari persoalan kehidupan. Tidak ada seorangpun yang menerjunkan dirinya dalam kehidupan dapat hidup tanpa rasa takut. Satu-satunya cara untuk menghindarkan diri dari rasa takut adalah menyerah terhadap rasa takut, seperti terjadi bila seorang begitu takut sehingga ia tidak berani mencapai apa yang ada sekarang atau masa depan yang tidak menentu.
Rasa takut yang disebabkan otoriter orang tua akan menyebabkan anak tidak berkembang daya kreatifnya dan menjadi orang yang penakut, apatis, dan penggugup. Selanjutnya sikap apatis yang ditimbulkan oleh otoriter orang tua akan mengakibatkan anak menjadi pendiam, memencilkan diri, tak sanggunp bergaul dengan orang lain (Willis, 2005:57)
e. Frustasi dan Dukacita
         Frustasi merupakan keadaan saat individu mengalami hambatan-hambatan dalam pemenuhan kebutuhannya, terutama bila hambatan tersebut muncul dari dirinya sendiri. Konsekuensi frustasi dapat menimbulkan perasaan rendah diri. 
         Dukacita merupakan perasaan galau atau depresi yang tidak terlalu berat, tetapi mengganggu individu. Keadaan ini terjadi bila kehilangan sesuatu atau seseorang yang sangat berarti buat kita. Kalau dialami dalam waktu yang panjang dan berlebihan akan menyebabkan kerusakan fisik dan psikis yang cukup serius hingga depresi.(http://www.kompas.com/kompas-cetak/htm) 


         Biehler (1972) dalam (Sunarto, 2002:155) membagi ciri-ciri emosional remaja menjadi dua rentang usia, yaitu usia 12–15 tahun dan usia 15–18 tahun
Ciri-ciri emosional remaja usia 12-15 tahun :

a)      Pada usia ini seorang siswa/anak cenderung banyak murung dan tidak dapat diterka.
b)      Siswa mungkin bertingkah laku kasar untuk menutupi kekurangan dalam hal rasa percaya diri.
c)       Ledakan-ledakan kemarahan mungkin saja terjadi.
d)     Seorang remaja cenderung tidak toleran terhadap orang lain dan membenarkan pendapatnya sendiri yang disebabkan kurangnya rasa percaya diri.
e)      Remaja terutama siswa-siswa SMP mulai mengamati orang tua dan guru-guru mereka secara lebih obyektif.

Ciri-ciri emosional remaja usia 15–18 tahun


a)      Pemberontakan’ remaja merupakan pernyataan-pernyataan/ekspresi dari perubahan yang universal dari masa kanak-kanak ke dewasa.
b)      Karena bertambahnya kebebasan mereka, banyak remaja yang mengalami konflik dengan orang tua mereka.
c)      Siswa pada usia ini seringkali melamun, memikirkan masa depan mereka. Banyak di antara mereka terlalu tinggi menafsirkan kemampuan mereka sendiri dan merasa berpeluang besar untuk memasuki pekerjaan dan memegang jabatan tertentu.
3. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perkembangan Emosi
         Sejumlah penelitian tentang emosi anak menunjukkan bahwa perkembangan emosi mereka bergantung kepada faktor kematangan dan faktor belajar (Hurlock, 2002: 154). Reaksi emosional yang tidak muncul pada awal kehidupan tidak berarti tidak ada, reaksi tersebut mungkin akan muncul dikemudian hari, dengan berfungsinya sistem endokrin. Kematangan dan belajar terjalin erat satu sama lainnya dalam mempengaruhi perkembangan emosi.

         Untuk mencapai kematangan emosi, remaja harus belajar memperoleh gambaran tentang situasi yang dapat menimbulkan reaksi emosional. Adapun caranya adalah dengan membicarakan pelbagai masalah pribadinya dengan orang lain. Keterbukaan, perasaan dan masalah pribadi dipengaruhi sebagian oleh rasa aman dalam hubungan sosial dan sebagian oleh tingkat kesukaannya pada “orang sasaran” (Hurlock, 2002:213).
Metode belajar yang menunjang perkembangan emosi antara lain :
a. Belajar dengan coba-coba
b. Belajar dengan cara meniru
c. Belajar dengan cara mempersamakan diri (learning by identification) 
d. Belajar melalui pengkondisian
e. Belajar dibawah bimbingan dan pengawasan, terbatas pada aspek reaksi (Sunarto, 2002:158)
4.  Hubungan Antara Emosi Dan Tingkah Laku Serta Pengaruh Emosi Terhadap Tingkah Laku
         Rasa takut dan marah dapat menyebabkan seorang gemetar. Dalam ketakutan, mulut menjadi kering, cepatnya jantung berdetak, derasnya aliran darah, sistem pencernaan mungkin berubah selama permunculan emosi. Keadaan emosi yang menyenangkan dan relaks berfungsi sebagai alat pembantu untuk mencerna, sedangkan perasaan tidak enak menghambat pencernaan.
         Gangguan emosi dapat menjadi penyebab kesulitan berbicara. Hambatan-hambatan dalam berbicara tertentu telah ditemukan bahwa tidak disebabkan oleh kelainan dalam organ berbicara. Ketegangan emosional yang cukup lama mungkin menyebabkan seseorang menjadi gagap.
         Sikap takut, malu-malu merupakan akibat dari ketegangan emosi dan dapat muncul dengan hadirnya individu tertentu. Karena reaksi kita yang berbeda-beda terhadap setiap orang yang kita jumpai, maka jika kita merespon dengan cara yang sangat khusus terhadap hadirnya individu tertentu akan merangsang timbulnya emosi tertentu. Suasana emosional yang penuh tekanan di dalam keluarga berdampak negatif terhadap perkembangan remaja.

         Sebaliknya suasana penuh kasih sayang, ramah, dan bersahabat amat mendukung pertumbuhan remaja menjadi manusia yang bertanggung jawab terhadap keluarga. Dengan demikian dialog antara orang tua dengan remaja sering terjadi. Dalam dialog tersebut mereka akan mengungkapkan keresahan, tekanan batin, cita-cita, keinginan, dan sebagainya. Akhirnya jiwa remaja akan makin tenang. Jika demikian maka remaja akan mudah diajak untuk bekerja sama dalam rangka mengajukan dirinya dibidang pendidikan dan karir (Willis,2005:22)
5. Perbedaan Individual Dalam Perkembangan Emosi
         Dengan meningkatnya usia anak, semua emosi diekspresikan secara lebih lunak karena mereka telah mempelajari reaksi orang lain terhadap luapan emosi yang berlebihan, sekalipun emosi itu berupa kegembiraan atau emosi yang menyenangkan lainnya. Selain itu karena anak-anak mengekang sebagian ekspresi emosi mereka, emosi tersebut cenderung bertahan lebih lama daripada jika emosi itu diekspresikan secara lebih terbuka.

          Oleh sebab itu, ekspresi emosional mereka menjadi berbeda-beda.Perbedaan itu sebagian disebabkan oleh keadaan fisik anak pada saat itu dan taraf kemampuan intelektualnya, dan sebagian lagi disebabkan oleh kondisi lingkungan. Anak yang sehat cenderung kurang emosional dibandingkan dengan anak yang kurang sehat.
         Ditinjau kedudukannya sebagai anggota suatu kelompok, anak-anak yang pandai bereaksi lebih emosional terhadap berbagai macam rangsangan dibandingkn dengan anak-anak yang kurang pandai. Tetapi sebaliknya, mereka juga cenderung lebih mampu mengendalikan ekspresi emosi. Ditinjau kedudukannya sebagai anggota suatu kelompok keluarga, anak laki-laki lebih sering dan lebih kuat mengekspresikan emosi yang sesuai dengan jenis kelamin mereka. Misalnya marah bagi laki-laki, dibandingkan dengan emosi takut, cemas, dan kasih sayang yang dianggap lebih sesuai bagi perempuan.
         Rasa cemburu dan marah lebih umum terdapat di kalangan keluarga besar, sedangkan rasa iri lebih umum umum terdapat di kalangan keluarga kecil. Rasa cemburu dan ledakan marah juga lebih umum dan lebih kuat di kalangan anak pertama dibandingkan dengan anak yang lahir kemudian dalam keluarga yang sama.
6. Upaya Pengembangan dan Pengelolaan Emosi serta Implikasinya dalam Penyelenggaraan Pendidikan
         Rasa marah, kesal, sedih atau gembira adalah hal yang wajar yang tentunya sering dialami remaja meskipun tidak setiap saat. Pengungkapan emosi itu ada juga aturannya. Supaya bisa mengekspresikan emosi secara tepat, remaja perlu pengendalian emosi. Akan tetapi, pengendalian emosi ini bukan merupakan upaya untuk menekan atau menghilangkan emosi melainkan:

a.       Belajar menghadapi situasi dengan sikap rasional
b.      Belajar mengenali emosi dan menghindari dari penafsiran yang berlebihan terhadap situasi yang dapat menimbulkan respon emosional. Untuk dapat menanfsirkan yang obyektif, coba tanya pendapat beberapa orang tentang situasi tersebut.
c.       Bagaimana memberikan respon terhadap situasi tersebut dengan pikiran maupun emosi yang tidak berlebihan atau proporsional, sesuai dengan situasinya, serta dengan cara yang dapat diterima oleh lingkungan social.
d.       Belajar mengenal, menerima, dan mngekspresikan emosi positif (senang, sayang, atau bahagia dan negative (khawatir, sedih, atau marah)
         Kegagalan pengendalian emosi biasanya terjadi karena remaja kurang mau bersusah payah menilai sesuatu dengan kepala dingin. Bawaannya main perasaan. Kegagalan mengekspresikan emosi juga karena kurang mengenal perasaan dan emosi sendiri sehingga jadi “salah kaprah” dalam mengekspresikannya.
         Karena itu, keterampilan mengelola emosi sangatlah perlu agar dalam proses kehidupan remaja bisa lebih sehat secara emosional. Keterampilan mengelola emosi misalnya sebagai berikut:
a. Mampu mengenali perasaan yang muncul 
b. Mampu mengemukakan perasaan dan dapat menilai kadar perasaan 
c. Mampu mengelola perasaan 
d. Mampu mengendalikan diri sendiri 
e. Mampu mengurangi stress. 
2. 3 Perkembangan sosial remaja

A. Pengertian Perkembangan Hubungan Sosial
         Manusia tumbuh dan berkembang pada masa bayi ke masa dewasa melalui beberapa langkah dan jenjang . Kehidupan anak dalam menelusuri perkembangan itu pada dasarnya merupakan kemampuan mereka berinteraksi dengan lingkungan .Interaksi sosial merupakan proses sosialisasi yang mendudukan anak sebagai insan yang secara aktif melakukan proses sosialisasi. Bersosialisasi pada dasarnya merupakan proses penyesuaian diri terhadap lingkungan kehidupan sosial .
         Hubungan sosial merupakan hubungan antarmanusia yang saling membutuhkan. Hubungan sosial dimulai dari tingkat yang sederhana yang didasari oleh kebutuhan yang sederhana. Semakin dewasa, kebutuhan manusia menjadi kompleks dan dengan demikian, tingkat hubungan sosial juga berkembang menjadi amat kompleks. Pada jenjang perkembangan remaja, seorang remaja bukan saja memerlukan orang lain demi memenuhi kebutuhan pribadinya, tetapi mengandung maksud untuk disimpulkan bahwa pengertian perkembangan sosial adalah berkembangnya tingkat hubungan antar manusia sehubungan dengan meningkatnya kebutuhan hidup manusia. 
B. Karakteristik Perkembangan Sosial Remaja
         Remaja pada tingkat perkembangan anak yang telah mencapai jenjang menjelang dewasa. Pada jenjang ini, kebutuhan remaja telah cukup kompleks, cakrawala interaksi sosial dan pergaulan remaja telah cukup luas. Dalam penyesuaian diri terhadap lingkungannya, remaja telah mulai memperlihatkan dan mengenal berbagai norma pergaulan, yang berbeda dengan norma yang berlaku sebelumnya di dalam keluarganya. Remaja menghadapi berbagai lingkungan, bukan saja bergaul dengan berbagai kelompok umur.

         Dengan demikian, remaja mulai memahami norma pergaulan dengan kelompok remaja, kelompok anak-anak, kelompok dewasa, dan kelompok orang tua. Pergaulan dengan sesama remaja lawan jenis dirasakan yang paling penting tetapi cukup sulit, karena di samping harus memperhatikan norma pergaulan sesama remaja, juga terselip pemikiran adanya kebutuhan masa depan untuk memilih teman hidup.
Ø  Pada masa remaja , anak mulai memperhatikan dan mengenal berbagai norma pergaulan . Pergaulan sesama teman lawan jenis dirasakan sangat penting , tetapi cukup sulit , karena di samping harus memperhatikan norma pergaulan sesame remaja juga terselip pemikiran adanya kebutuhan masa depan untuk memilih teman hidup
Ø  Kehidupan sosial remaja ditandai dengan menonjolnya fungsi intelektual dan emosional . Remaja sering mengalami sikap hubungan sosial yang tertuutup sehubungan dengan masalah yang dialaminya .
Ø  Menurut “ Erick Erison ‘ Bahwa masa remaja terjadi masa krisis , masa pencarian jati diri . Dia berpendapat bahwa penemuan jati diri seseorang didorong oleh sosiokultural . Sedangkan menurut Freud , Kehidupan sosial remaja didorong oleh dan berorientasi pada kepentingan seksual .
Ø  Pergaulan remaja banyak diwujudkan dalam bentuk kelompok – kelompok , baik kelompok besar maupun klelompok kecil .
C.  Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Sosial
         Perkembangan sosial manusia dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu: keluarga, kematangan anak, status ekonomi keluarga, tingkat pendidikan, dan kemampuan mental terutama emosi dan inteligensi.

a.       Keluarga
Keluarga merupakan lingkungan pertama yang memberikan pengaruh terhadap berbagai aspek perkembangan anak, termasuk perkembangan sosialnya. Kondisi dan tata cara kehidupan keluarga merupakan lingkungan yang kondusif bagi sosialisasi anak. Di dalam keluarga berlaku norma-norma kehidupan keluarga, dan dengan demikian pada dasarnya keluarga merekayasa perilaku kehidupan budaya anak.
Proses pendidikan yang bertujuan mengembangkan kepribadian anak lebih banyak ditentukan oleh keluarga. Pola pergaulan dan bagaimana norma dalam menempatkan diri terhadap lingkungan yang lebih luas ditetapkan dan diarahkan oleh keluarga.

b.      Kematangan anak
Bersosialisasi memerlukan kematangan fisik dan psikis. Untuk mampu mempertimbangan dalam proses sosial, memberi dan menerima pendapat orang lain, memerlukan kematangan intelektual dan emosional. Di samping itu, kemampuan berbahasa ikut pula menentukan.
Dengan demikian, untuk mampu bersosialisasi dengan baik diperlukan kematangan fisik sehingga setiap orang fisiknya telah mampu menjalankan fungsinya dengan baik.

c.       Status Sosial Ekonomi
Kehidupan sosial banyak dipengaruhi oleh kondisi atau status kehidupan sosial keluarga dalam lingkungan masyarakat. Masyarakat akan memandang anak, bukan sebagai anak yang independen, akan tetapi akan dipandang dalam konteksnya yang utuh dalam keluarga anak itu. “ia anak siapa”. Secara tidak langsung dalam pergaulan sosial anak, masyarakat dan kelompoknya dan memperhitungkan norma yang berlaku di dalam keluarganya.Dari pihak anak itu sendiri, perilakunya akan banyak memperhatikan kondisi normatif yang telah ditanamkan oleh keluarganya. Sehubungan dengan itu, dalam kehidupan sosial anak akan senantiasa “menjaga” status sosial dan ekonomi keluarganya. Dalam hal tertentu, maksud “menjaga status sosial keluarganya” itu mengakibatkan menempatkan dirinya dalam pergaulan sosial yang tidak tepat. Hal ini dapat berakibat lebih jauh, yaitu anak menjadi “terisolasi” dari kelompoknya. Akibat lain mereka akan membentuk kelompok elit dengan normanya sendiri.

d.      Pedidikan
Pendidikan merupakan proses sosialisasi anak yang terarah. Hakikat pendidikan sebagai proses pengoperasian ilmu yang normatif, akan memberikan warna kehidupan sosial anak di dalam masyarakat dan kehidupan mereka di masa yang akan datang. Pendidikan dalam arti luas harus diartikan bahwa perkembangan anak dipengaruhi oleh kehidupan keluarga, masyarakat, dan kelembagaan. Penanaman norma perilaku yang benar secara sengaja diberikan kepada peserta didik yang belajar di kelembagaan pendidikan(sekolah). Kepada peserta didik bukan saja dikenalkan kepada norma-norma lingkungan dekat, tetapi dikenalkan kepada norma kehidupan bangsa(nasional) dan norma kehidupan antarbangsa. Etik pergaulan membentuk perilaku kehidupan bermasyarakat dan bernegara.

e.        Kapasitas Mental, Emosi, dan Integensi
Kemampuan berpikir banyak mempengaruhi banyak hal, seperti kemampuan belajar, memecahkan masalah, dan berbahasa. Anak yang berkemampuan intelektual tinggi akan berkemampuan berbahasa secara baik. Oleh karena itu kemampuan intelektual tinggi, kemampuan berbahasa baik, dan pengendalian emosional secara seimbang sangat menentukan keberhasilan dalam perkembangan sosial anak. Sikap saling pengertian dan kemampuan memahami orang lain merupakan modal utama dalam kehidupan sosial dan hal ini akan dengan mudah dicapai oleh remaja yang berkemampuan intelektual tinggi.

D. Pengaruh Perkembangan Sosial terhadap Tingkah Laku
         Pikiran remaja sering dipengaruhi oleh hide-ide dari teori – teori yang menyebabkan siakp kritis terhadap situasi dan orang lain .
         Pengaruh egosentris sering terlihat pada pemikiran remaja, yaitu :

a)      Cita-cita dan idealisme yang baik , terlalu menitik beratkan pikiran sendiri tanpa memikirkan akibat jauh dan kesulitan-kesuliatn praktis.
b)       Kemampuan berpikir dengan pendapat sendiri belum disertai pendapat orang lain
Pencerminan sifat egois dapat menyebabkan dalam menghadapi pendapat oaring lain , maka sifat ego semakin kecil sehingga terjadi perubahan tingkah laku yang semakin baik dan matang .

E.  Perbedaan Individual dalam Perkembangan Sosial
         Bergaul dengan sesama manusia (sosialisasi) dilakukan oleh setiap orang, baik secara individual maupun berkelompok. Dilihat dari berbagai aspek, terdapat perbedaan individual manusia, yang hal itu tampak juga dalam perkembangan sosialnya.

         Sesuai dengan Teori komprehensif yang dikemukakan oleh Erickson yang menyatakan bahwa manusia hidup dalam kesatuan budaya yang utuh, alam dan kehidupan masyarakat menyediakan segala Hal yang dibutuhkan manusia. Namun sesuai dengan minat, kemampuan, dan latar belakang kehidupan budayanya maka berkembang kelompok-kelompok sosial yang beranekaragam. Remaja yang telah mulai mengembangkan kehidupan bermasyarakat, maka telah mempelajari pola-pola yang sesuai dengan kepribadiannya.

F.  Upaya Pengembangan Hubungan Sosial Remaja dan Implikasinya dalam Penyelenggaraan Pendidikan

a)      Penciptaan kelompok sosial remaja perlu dikembangkan untuk memberikan rangsang kepada mereka kearah perilaku yang bermanfaat.
b)      Perlu sering diadakan kegiatan kerja bakti , bakti karya dan kelompok-kelompok belajar untuk dapat mempelajari remaja bersosialisasi sesamanya dan masyarakat.
2.4 Perkembangan moral remaja
         Istilah moral berasal dari kata Latin "mos" (Moris), yang berarti adat istiadat, kebiasaan, peraturan/niali-nilai atau tata cara kehidupan. Sedangkan moralitas merupakan kemauan untuk menerima dan melakukan peraturan, nilai-nilai atau prinsip-prinsip moral. Nilai-nilai moral itu, seperti:
1.      Seruan untuk berbuat baik kepada orang lain, memelihara ketertiban dan keamanan, memelihara kebersihan dan memelihara hak orang lain, dan
2.      Larangan mencuri, berzina, membunuh, meminum-minumanan keras dan berjudi.
Seseorang dapat dikatakan bermoral, apabila tingkah laku orang tersebut sesuai dengan nilai-nilai moral yang dijunjung tinggi oleh kelompok sosialnya.

         Sehingga tugas penting yang harus dikuasai remaja adalah mempelajari apa yang diharapkan oleh kelompok daripadanya dan kemudian mau membentuk perilakunya agar sesuai dengan harapan sosial tanpa terus dibimbing, diawasi, didorong, dan diancam hukuman seperti yang dialami waktu anak-anak.
         Remaja diharapkan mengganti konsep-konsep moral yang berlaku umum dan merumuskannya ke dalam kode moral yang akan berfungsi sebagai pedoman bagi perilakunya. 
Tidak kalah pentingnya, sekarang remaja harus mengendalikan perilakunya sendiri, yang sebelumnya menjadi tanggung jawab orang tua dan guru. Mitchell telah meringkaskan lima perubahan dasar dalam moral yang harus dilakukan oleh remaja yaitu:

1)      Pandangan moral individu semakin lama semakin menjadi lebih abstrak dan kurang konkret.
2)      Keyakinan moral lebih berpusat pada apa yang benar dan kurang pada apa yang salah. Keadilan muncul sebagai kekuatan moral yang dominant.
3)       Penilaian moral menjadi semakin kognitif. Ia mendorong remaja lebih berani menganalisis kode social dan kode pribadi dari pada masa anak-anak dan berani mengambil keputusan terhadap berbagai masalah moral yang dihadapinya.
4)       Penilaian moral menjadi kurang egosentris.
5)      Penilaian moral secara psikologis menjadi lebih mahal dalam arti bahwa penilaian moral merupakan bahan emosi dan menimbulkan ketegangan psikologis.


         Pada masa remaja, laki-laki dan perempuan telah mencapai apa yang oleh Piaget disebut tahap pelaksanaan formal dalam kemampuan kognitif. Sekarang remaja mampu mempertimbangkan semua kemungkinan untuk menyelesaikan suatu masalah dan mempertanggungjawabkannya berdasarkan suatu hipotesis atau proporsi. Jadi ia dapat memandang masalahnya dari berbagai sisi dan menyelesaikannya dengan mengambil banyak faktor sebagai dasar pertimbangan.
         Menurut Kohlberg, tahap perkembangan moral ketiga, moral moralitas pascakonvensional harus dicapai selama masa remaja.tahap ini merupakan tahap menerima sendiri sejumlah prinsip dan terdiri dari dua tahap.

         Dalam tahap pertama individu yakin bahwa harus ada kelenturan dalam keyakinan moral sehingga dimungkinkan adanya perbaikan dan perubahan standar apabila hal ini menguntungkan anggota-anggota kelompok secara keseluruhan.
         Dalam tahap kedua individu menyesuaikan dengan standar sosial dan ideal yang di internalisasi lebih untuk menghindari hukuman terhadap diri sendiri daripada sensor sosial. Dalam tahap ini, moralitas didasarkan pada rasa hormat kepada orang-orang lain dan bukan pada keinginan yang bersifat pribadi. 
Ada tiga tugas pokok remaja dalam mencapai moralitas remaja dewasa, yaitu:

1)      Mengganti konsep moral khusus dengan konsep moral umum.
2)      Merumuskan konsep moral yang baru dikembangkan ke dalam kode moral sebagai kode prilaku.
3)      Melakukan pengendalian terhadap perilaku sendiri.
         Perkembangan moral adalah salah satu topic tertua yang menarik minat mereka yang ingin tahu mengenai sifat dasar manusia. Kini kebanyakan orang memiliki pendapat yang kuat mengenai tingkah laku yang dapat diterima dan yang tidak dapat di terima, tingkah laku etis dan tidak etis, dan cara-cara yang harus dilakukan untuk mengajarkan tingkah laku yang dapat diterima dan etis kepada remaja.
         Perkembangan moral (moral development) berhubungan dengan peraturan-peraturan dan nilai-nilai mengenai apa yang harus dilakukan seseorang dalam interaksinya dengan orang lain. Anak-anak ketika dilahirkan tidak memiliki moral (imoral). Tetapi dalam dirinya terdapat potensi yang siap untuk dikembangkan. Karena itu, melalui pengalamannya berinteraksi dengan orang lain (dengan orang tua, saudara dan teman sebaya), anak belajar memahami tentang perilaku mana yang baik, yang boleh dikerjakan dan tingkah laku mana yang buruk, yang tidak boleh dikerjakan.
         Teori Psikoanalisis tentang perkembangan moral menggambarkan perkembangan moral, teori psikoanalisa dengan pembagian struktur kepribadian manusia menjadi tiga, yaitu id, ego, dan superego. Id adalah struktur kepribadian yang terdiri atas aspek biologis yang irasional dan tidak disadari. Ego adalah struktur kepribadian yang terdiri atas aspek psikologis, yaitu subsistem ego yang rasional dan disadari, namun tidak memiliki moralitas. Superego adalah struktur kepribadian yang terdiri atas aspek social yang berisikan system nilai dan moral, yang benar-benar memperhitungkan "benar" atau "salahnya" sesuatu.
         Hal penting lain dari teori perkembangan moral Kohlberg adalah orientasinya untuk mengungkapkan moral yang hanya ada dalam pikiran dan yang dibedakan dengan tingkah laku moral dalam arti perbuatan nyata. Semakin tinggi tahap perkembangan moral sesorang, akan semakin terlihat moralitas yang lebih mantap dan bertanggung jawabdari perbuatan-perbuatannya.
2. 5 Perkembangan agama remaja.
         Latar belakang kehidupan keagamaan remaja dan ajaran agamanya berkenaan dengan hakekat dan nasib manusia, memainkan peranan penting dalam menentukan konsepsinya tentang apa dan siapa dia, dan akan menjadi apa dia. Agama, seperti yang kita temukan dalam kehidupan sehari-hari, terdiri atas suatu sistem tentang keyakinan-keyakinan, sikap-sikap danpraktek-praktek yang kita anut, pada umumnya berpusat sekitar pemujaan.

          Dari sudut pandangan individu yang beragama, agama adalah sesuatu yang menjadi urusan terakhir baginya. Artinya bagi kebanyakan orang, agama merupakan jawaban terhadap kehausannya akan kepastian, jaminan, dan keyakinan tempat mereka melekatkan dirinya dan untuk menopang harapan-harapannya. Dari sudut pandangan social, seseorang berusaha melalui agamanya untuk memasuki hubungan-hubungan bermakna dengan orang lain, mencapai komitmen yang ia pegang bersama dengan orang lain dalam ketaatan yang umum terhadapnya.bagi kebanyakan orang, agama merupakan dasar terhadap falsafah hidupnya.
Penemuan lain menunjukkan, bahwa sekalipun pada masa remaja banyak mempertanyakan kepercayaan-kepercayaan keagamaan mereka, namun pada akhirnya kembali lagi kepada kepercayaan tersebut.

         Banyak orang yang pada usia dua puluhan dan awal tiga puluhan, tatkala mereka sudah menjadi orang tua, kembali melakukan praktek-praktek yang sebelumnya mereka abaikan (Bossard dan Boll, 1943).  Bagi remaja, agama memiliki arti yang sama pentingnya dengan moral. Bahkan, sebagaiman dijelaskan oleh Adams & Gullotta (1983), agama memberikan sebuah kerangka moral, sehingga membuat seseorang mampu membandingkan tingkah lakunya.
         Agama dapat menstabilkan tingkah laku dan bias memberikan penjelasan mengapa dan untuk apa seseorang berada didunia ini. Agama memberikan perlindungan rasa aman, terutama bagi remaja yang tengah mencari eksistensi dirinya. Dibandingkan dengan masa awal anak-anak misalnya, keyakinan agama remaja telah mengalami perkembangan yang cukup berarti. Kalau pada masa awal anak-anak ketika mereka baru memiliki kemampuan berpikir simbolik. Tuhan dibayangkan sebagai person yang berada diawan, maka pada masa remaja mereka mungkin berusaha mencari sebuah konsep yang lebih mendalam tentang Tuhan dan eksistensi. Perkembangan pemahaman remaja terhadap keyakinan agama ini sangat dipengaruhi oleh perkembangan kognitifnya.
          Oleh karena itu meskipun pada masa awal anak-anak ia telah diajarkan agama oleh orang tua mereka, namun karena pada masa remaja mereka mengalami kemajuann dalam perkembangan kognitif, mereka mungkin mempertanyakan tentang kebenaran keyakinan agama mereka sendiri. Sehubungan dengan pengaruh perekembangan kognitif terhadap perkembangan agama selama masa remaja ini. Dalam suatu studi yang dilakukan Goldman (1962) tentang perkembangan pemahaman agama anak-anak dan remaja dengan latar belakang teori perkembangan kognitif Piaget, ditemukan bahwa perkembangan pemahaman agama remaja berada pada tahap 3, yaitu formal operational religious thought, di mana remaja memperlihatkann pemahaman agama yang lebih abstrak dan hipotesis.
         Peneliti lain juga menemukan perubahan perkembangan yang sama, pada anak-anak dan remaja. Oser & Gmunder, 1991 (dalam Santrock, 1998) misalnya menemukan bahwa remaja usia sekitar 17 atau 18 tahun makin meningkat ulasannya tentang kebebasan, pemahaman, dan pengharapan konsep-konsep abstrak ketika membuat pertimbangan tentang agama. Apa yang dikemukakan tentang perkembangan dalam masa remaja ini hanya merupakan cirri-ciri pokoknya saja.
         James Fowler (1976) mengajukan pandangan lain dalam perkembangan konsep religius. Indiduating-reflexive faith adalah tahap yang dikemukakan Fawler, muncul pada masa remaja akhir yang merupakan masa yang penting dalam perkembangan identitas keagamaan. Untuk pertama kalinya dalam hidup mereka, individu memiliki tanggung jawab penuh atas keyakinan religius mereka. Sebelumnya mereka mengandalkan semuanya pada keyakinan orang tuanya. Salah satu area dari pengaruh agama terhadap perkembangan remaja adalah kegiatan seksual. Walaupun keanakaragaman dan perubahan dalam pengajaran menyulitkan kita untuk menentukan karakteristik doktrin keagamaan, tetapi sebagian besar agama tidak mendukung seks pranikah.
         Oleh karena itu, tingkat keterlibatan remaja dalam organisai keagamaan mungkin lebih penting dari pada sekedar keanggotaan mereka dalam menentukan sikap dan tingkah laku seks pranikah mereka. Remaja yang sering menghadiri ibadat keagamaan dapat mendengarkan pesan-pesan untuk menjauhkan diri dari seks. Remaja masa kini menaruh minat pada agama dan menganggap bahwa agama berperan penting dalam kehidupan.
         Minat pada agama antara lain tampak dengan dengan membahas masalah agama, mengikuti pelajaran-pelajaran agama di sekolah dan perguruan tinggi, mengunjungi tempat ibadah dan mengikuti berbagai upacara agama. Sejalan dengan perkembangan kesadaran moralitas, perkembangan penghayatan keagamaan, yang erat hubungannya dengan perkembangan intelektual disamping emosional dan volisional (konatif) mengalami perkembangan.
         Para ahli umumnya (Zakiah Daradjat, Starbuch, William James) sependapat bahwa pada garis besarnya perkembangan penghayatan keagamaan itu dapat di bagi dalam tiga tahapan yang secara kulitatif menunjukkan karakteristik yang berbeda. Adapun penghayatan keagamaan remaja adalah sebagai berikut:


1). Masa awal remaja (12-18 tahun) dapat dibagi ke dalam dua sub tahapan sebagai berikut:
a)      Sikap negative (meskipun tidak selalu terang-terangan) disebabkan alam pikirannya yang kritis melihat kenyataan orang-orang beragama secara hipocrit (pura-pura) yang pengakuan dan ucapannya tidak selalu selaras dengan perbuatannya.
b)      Pandangan dalam hal ke-Tuhanannya menjadi kacau karena ia banyak membaca atau mendengar berbagai konsep dan pemikiran atau aliran paham banyak yang tidak cocok atau bertentangan satu sama lain.
c)      Penghayatan rohaniahnya cenderung skeptic(diliputi kewas-wasan) sehingga banyak yang enggan melakukan berbagai kegiatan ritual yang selama ini dilakukannya dengan kepatuhan.
2). Masa remaja akhir yang ditandai antara lain oleh hal-hal berikyut ini:


a)      Sikap kembali, pada umumnya, kearah positif dengan tercapainya kedewasaan intelektual, bahkan agama dapat menjadi pegangan hidupnya menjelanh dewasa.
b)      Pandangan dalam hal ke-Tuhanan dipahamkannya dalam konteks agama yang dianut dan dipilihnya.
c)      Penghayatan rohaniahnya kembali tenanh setelah melalui proses identifikasi dan merindu puja ia dapat membedakan antara agama sebagai doktrin atau ajaran dan manusia penganutnya, yang baik shalih) dari yang tidak. Ia juga memahami bahwa terdapat berbagai aliran paham dan jenis keagamaan yang penuh toleransi seyogyanya diterima sebagai kenyataan yang hidup didunia ini.
         Menurut Wagner (1970) banyak remaja menyelidiki agama sebagai suatu sumber dari rangsangan emosial dan intelektual. Para pemuda ingin mempelajari agama berdasarkan pengertian intelektual dan tidak ingin menerimanya secara begitu saja. Mereka meragukan agama bukan karena ingin manjadi agnostik atau atheis, melainkan karena ingin menerima agama sebagai sesuatu yang bermakna berdasarkan keinginan mereka untuk mandiri dan bebas menentukan keputusan-keputusan mereka sendiri.
2. 6 Hubungan siswa dengan proses pembelajaran.
         Dalam keseharian remaja juga harus berlatih untuk melakukan dialog dengan diri sendiri dalam menghadapi setiap masalah, bersikap positif dan optimistis, serta mampu mengembangkan harapan yang realistis. Remaja juga harus mampu menafsirkan isyarat-isyarat social. Artinya, mengenali pengaruh sosial terhadap perilaku remaja dan melihat dampak perilaku remaja, baik terhadap diri sendiri maupun masyarakat dimana remaja berada. Remaja juga harus dapat memilih langkah-langkah yang tepat dalam setiap penyelesaian masalah yang remaja hadapi dengan mempertimbangkan resiko yang akan terjadi (http://www.kompas.com/kompas-cetak/htm). 
         Meskipun demikian, pendekatan dan pemecahan dari pendidikan merupakan salah satu jalan yang paling strategis, karena bagi sebagaian besar remaja bersekolah dengan para pendidikan, khususnya gurulah yang paling banyak mempunyai kesempatan berkomunikasi dan bergaul. Dalam kaitannya dengan emosi remaja awal yang cenderung banyak melamun dan sulit diterka, maka satu-satunya hal yang dapat dilakukan oleh guru adalah konsisten dalam pengelolaan kelas dan memperlakukan siswa seperti orang dewasa yang penuh tanggung jawab.
         Guru-guru dapat membantu mereka yang bertingkah laku kasar dengan jalan mencapai keberhasilan dalam pekerjaan sekolah sehingga mereka menjadi anak yang lebih tenang dan lebih mudah ditangani. Salah satu cara yang mendasar adalah dengan mendorong mereka untuk bersaing dengan diri sendiri. Apabila ada ledakan kemarahan sebaiknya kita memperkecil ledakan emosi tersebut, misalnya dengan jalan tindakan yang bijaksana dan lemah lembut, mengubah pokok pembicaraan, dan memulai aktivitas baru. Jika kemarahan siswa tidak juga reda, guru dapat meminta bantuan kepada petugas bimbingan penyuluhan.
         Dalam diskusi kelas, tekankan pentingnya memperhatikan pandangan orang lain dalam meningkatkan pandangan sendiri. Kita hendaknya waspada terhadap siswa yang sangat ambisisus, berpendirian keras, dan kaku yang suka mengintimidasi kelasnya sehingga tidak ada seseorang yang berani tidak sependapat dengannya. Pemberian tugas-tugas yang dapat menumbuhkan rasa tanggung jawab, belajar menimbang, memilih dan mengambil keputusan yang tepat akan sangat menunjang bagi pembinaan kepribadiannya. Cara yang paling strategis untuk ini adalah apabila para pendidik terutama para orang tua dan guru dapat menampilkan pribadi-pribadinya yang dapat merupakan objek identifikasi sebagai pribadi idola para remaja.
2.7        Seksualitas remaja.
         Peserta didik usia remaja secara total menemukan satu indentitas, berupa perwujudan orientasi seksual (social orientation), yang tercermin dari hasrat seksual, emosional , romantic dan atraksi kasih sayang kepada anggota jenis kelamin yang sama atau berbeda atau keduanya. Seseorang peserta didik yang tertarik pada anggota jenis kelamin lain disebut heteroseksual. Sebaliknya, seseorang yang tertaeik pada jenis kelamin yang sama disebut homo seksual. Banyak yang menggunakan istilah gay sebagai kata ganti homoseksual pada laki-laki dan lesbian untuk perempuan. Ada juga peserta didik atau seseorang yang tertarik pada anggota dari  kedua jenis kelamin adalah yang disebut dengan bisexsual.
Pada tahun 1940-an dan 1950-an, Alfred Kinsey dan rekan-rekanya menemukan bahwa orientasi seksual manusia ada disepanjang kontinum. Sebelum hasil Kinsey dipublikasi, banyak ahli percaya kebiasaan Seksual warga pada umumnya bersifat baik heteroseksual maupun homoseksual. Kinsey  berspekulasi bahwa kategori dari orientasi seksual tidak  begitu berbeda. Pada survey itu, banyak orang amerika serikat melaporkan bahwa mereka memiliki daya tarik terhadap anggota jenis kelamin yang sama, meskipun sebagian besar belum pernah bertindak keluar pada atraksi ini. Singkatnya Kinsey dan rekan berkesimpulan bahwa dilihat dari ilmu kedokteran perilaku heteroseksual, homo seksualitas dan biseksual kesemuanya merupakan orientasi seksual yang terpisah namun berhubungan.Penyebab dari heteroseksual, homoseksual dan biseksual belum sepenuhnya terungkap oleh para peneliti. Teori orientasi seksual itu  memang bisa dikaji dari dimensi biologis, psikologis, sosial, dan interaksional. Upaya mengidentifikasi penyebab fisiologis spesifik dari homoseksualitas sudah tidak meyakinkan.
Teori fisiollogis tradisional berpandangan bahwa hal itu dipicu oleh terl;alu sedikit testoteron pada laki-laki dan terlau banyak testoteron wanita. Ketidakseimbangan hormone prenatal, kesalahan biologis kehamilan karena stress ibu, perbedaan dalam struktur otak, serta perbedaan genetic dan pengaruh. Preudian percaya keluarga yang bermasalah, seorang ibu yang terlalu sayang dan dominan  pada satu sisi dan ayah yang pasif, dan atau kehilangan satu atau kedua orang tua pada sisi lain, namun, teori ini tidak  dapat menjelaskan mengapa homoseksualiatas terjadi pada orang yang tidak berasal dari satu
jenis keluarga.

Baru – baru ini, penelitian telah menemukan bukti bahwa factor pembelajaran social (social_learning). Dapat memunculkan pemahaman tertentu mengenai homoseksualitas. Preferensi seksual dapat berkembang ketika anak melakukan perilaku lintas jender awal ( cross – gender behavior, perilaku stereotip jenis kelamin yang lain ) atau kapan hasrat seksual remaja muncul selama periode –jender terutama persahabatan yang sama.
Para pendukung teori interaksional ( interactional theory) meyakini bahwa homoseksualitas merupakan orientasi seksual yang berkembang dari interaksi kompleks atas factor – factor psikologis, social, dan biologis. Jhon money menjelaskan bahwa tindakan hormon kehaliman pertama pada emberio dan otak janin menciptakan kecenderungan. Factor social yang mempengaruhi belajar anak, baik memfasilitasi maupun menghambat kecenderungan.
 DAFTAR PUSTAKA
Ø  Atkinson & Atkinson. 1998. PEngantar PSikologi, edisi kesebelas. Batam : Interaksara.
Ø   Crain, William. 1992. Theories of Development : Concept and Applications, third edition. New Jersey :Prentice-Hall, Inc.
Ø  Hurlock, Elizabeth. B. 1980. Developmental Psychology A life-Span Approach, fifth edition. New Delhi :Tata McGraw-Hill Publishing Company Ltd.
Ø  Hall, Lindzey & Campbell. 1998. Theories of Personality, forthh edition. New York : John Wiley & Sons, Inc.
Ø  Cahyadi, Ani, 2006, Psikologi Perkembangan, Ciputat : Press Group
Ø  Desmita, 2007. Psikologi Perkembangan, Bandung : Rosda Karya
Ø  Fatimah Enung, 2006. Psikologi Perkembangan, Bandung : Pustaka Setia
Ø  Hamalik Oemar, 1995. Psikologi Remaja (dimensi-dimensi perkembangan), Bandung: Maju Mundur
Ø  Hartati Netty, 2004. Islam dan Psikologi, Jakarta: Raja Grafindo Persada
Ø  Nurihsan, Juntika, 2007. Perkembangan Peserta Didik, Bandung : Sekolah Pasca Sarjana.
Ø  Panuju, Panut, 1999, Psikologi Remaja, Yogyakarta : Tiara Wacana Yogya
Ø  Santrock, John W., 1996, Adolescence (Perkembangan Remaja), The University of at Dallas: Times Mirror higher Education.
Ø  Santrock, John W, 1983, Life-Span Development (Perkembangan Masa Hidup), University of Texas at Dallas: Brown and Bench-mark
Ø  Yusuf, Syamsu, 2007, Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja, Bandung: Rosda
Ø  Keluarga. http://www.pages-yourfavorite.com/ppsupi/ abstrakpu2004.html
Ø  Chatarina Wahyurini & Yahya Ma’shum (2006), Iiih … Emosi Banget Deh.
Ø  http://www.kompas.com/kompas-cetak/0403/26/muda/933870.htm).
Ø  Willis, Sofyan. (2005). Remaja dan Masalahnya. Bandung : Alfabeta
Ø  Danim sudarwan, perkembangan peserta didik. Bandung: alfabeta

0 komentar:

Posting Komentar

 

Sample text

Sample Text